Sabtu, 30 Mei 2009

Bersahabat dalam Doa

Hari kamis kemarin, saya ikut pengajian rutin di masjid Al Azhar, Pamulang, atas undangan teman. Ada satu cerita yang sangat menggilitik saya. Sang Ustad menceritakan pengalaman uniknya waktu pulang ke kampung, pada saat Lebaran Idul Fitri tahun lalu.

Bapak Ustad juga mengikuti keluarganya untuk ziarah kubur, seperti tradisi yang biasa dilakukan di daerahnya. Di pemakaman umum itu, ada seorang pria yang menarik perhatian Ustad (sebut saja Si AB). Pria ini sepertinya sudah lama tidak pulang kampung dan juga berarti sudah lama pula tidak menziarahi makam orang tuanya. Dengan gaya versi orang kota masuk desa, perlente dan sok buru-buru, Si Pria AB menuju sebuah makam dengan yakin. Masih dengan gaya orang kotanya yang sok jaim (jaga image), dia langsung bersimpuh dengan rapi dan manis di makam tersebut.

Ritual dimulai. Dikeluarkannya buku yasin kecil yang baru dibelinya di pintu pemakaman. Dibacanya surat yasin dengan khusuk walaupun terbata-bata. Hampir 30 menit, waktu yang diperlukan untuk mengkhatamkan buku kecil itu. Masih dengan khusuk, diciumnya buku kecil itu dan diteruskan dengan ritual selanjutnya. Berdoa dengan versi bahasa ibunya. Entah apa yang diucapkannya dalam doanya. Yang jelas pria itu tidak dapat mempertahankan kejaimannya, karena tanpa terasa, ada bulir air mata yang mengenang di kelopak matanya. Habis sudah sosok kepura-puraan yang dibawanya dari kota digerus bayangan wajah polos dan ikhlas kedua orang tuanya.

Bulir-bulir air matanya semakin tidak terbendung. Dikeluarkannya sapu tangannya yang masih terlipat rapi dari dalam sakunya. Ingus pun tidak mau kalah berlomba dengan air mata untuk menunjukkan perannya mendramatisir momentum langka ini. Bagaimana tidak dibilang langka, Pria AB adalah sosok pria tegar dan super macco, yang selama ini terkenal anti air mata.

Tapi tiba-tiba ada laki-laki desa paruh baya yang menggamit punggungnya. Dengan rasa hormat, pria itu ikut berjongkok dengan manis dan berkata pelan sambil pengusap punggung di pria AB, “ Mas, terimakasih banyak ya sudah mendoakan orang tua saya. Saya tidak menyangka mas, ternyata ada orang lain yang punya hubungan dekat dengan bapak saya yang cuma petani desa ini”.

Dummm.. perkataan laki-laki desa tadi seperti hantaman martil, yang diarahkan tepat ke kepala Pria AB. Ditariknya semua air mata dan ingus yang terlanjur keluar. Wajahnya kembali gersang dan lebih sangar dibanding ketika baru masuk pemakaman. Dia panik bukan kepalang, seolah apa yang dilakukannya tadi sudah sia-sia karena ..........berdoa di makam yang salah. ” Jadi dimana makam orang tua saya, dulu sepertinya disini. Waduh, bagaimana ini......saya kehilangan makam orang tua saya”, wajah paniknya semakin menjadi-jadi.

”Ha..ha..ha”, tawa saya menghiasi sahdunya suasana mesjid Al Azhar pagi itu. Saya benar-benar melepas ketawa saya dan lupa bahwa saya sedang menghadiri acara pengajian bukan acara reunian. Saya tidak sempet berfikir apa yang dipikirkan ibu-ibu yang lain, dengan ketawa saya. Karena saya sudah terlanjur tergelitik dengan pikiran saya sendiri sehubungan dengan cerita Ustad tadi.

Yang langsung muncul dalam kepala saya adalah pertanyaan, ” Apakah Tuhan di Pria AB sama dengan Tuhan saya. Apa yang dipikirkan Pria AB dengan kecerdasan Tuhannya?”.
Mungkin si Pria AB berfikir, kalau dia berdoa di makam yang salah, maka doa untuk kedua orang tuanya tidak akan sampai. Mungkin Tuhannya hanya punya alat yang sangat konvensional sehingga tidak dapat mendeteksi keselarasan antara pengirim dan penerima doa. Lagi-lagi saya tersenyum geli....membayangkan begitu banyak doa-doa yang tidak sampai dan betapa banyak doa yang salah alamat.

Dan terbayang juga oleh saya, kemana doa-doa saya akan diarahkan. Kerena selama ini saya lebih banyak berdoa untuk teman dan kerabat dengan menggunakan kata ganti ”nya” atau ”dia”. Kadang saya sebutkan juga beberapa nama. Tapi nama-nama yang sama atau hampir sama dengan nama yang saya sebutkan, kan ada beribu-ribu jumlahnya. Namun dalam setiap doa yang saya lantunkan, saya yakin seyakinnya bahwa Tuhan saya tahu sasaran yang saya tuju.

Sang Ustad juga mengingatkan bahwa dalam berdoa jangan egois dan jangan hanya berdoa untuk urusan dunia saja. ”Doa itu gratis kok bu, kenapa harus pelit dalam mendoakan orang lain. Kalau saudara atau teman ibu-ibu ada yang dalam kesempitan, atau kesusahan, maka jangan pakai pikir panjang-panjang....langsun
g saja didoakan. Buka hubungan online dengan Tuhan untuk mendoakan teman atau kerabat tercinta atau yang tidak tercinta. Doa teman/kerabat yang dipanjatkan dengan ikhlas, dijamin oleh Allah untuk mendapat prioritas untuk diijabah. Dan Doa itu, karena kedahsyatannya membuat pantulan yang serupa kepada orang yang mendoakan. Artinya doa yang dipanjatkan untuk orang lain seperti pedang bermata dua....... satu sasaran sampai tepat kepada orang yang didoakan dan satu sisi mengenai dirinya sendiri”.

Dan yang lebih hebat..... siapa yang saling mendoakan maka, kelak di alam baqa akan dipertemukan untuk saling mengucap salam dan terimakasih. Jadi siapa yang berkenan menjadi sahabat dalam doa. Sahabat yang saling mendoakan di dunia dan dipertemukan di alam baqa karena undangan doanya.

Jangan bersedih dengan sahabat yang hilang tak tahu rimbanya. Jangan sesali perpisahan dengan sanak saudara yang dengan berbagai keterbatasan akhirnya tidak tahu kabar beritanya. Yang hilang masih ada harapan untuk bisa ditemui,,,,dengan mendoakannya.

Walau kita kadang tidak tahu persis apa yang sedang dialami teman/kerabat........ jangan segan untuk mendoakannya. Biarlah Allah yang menerjemahkan doa kita, yang hanya bisa bilang ”Berilah segala kebaikan kepada teman/kerabatku, ya Allah!!” . Atau bisa dengan sedikit lebih detail ”Berilah kelapangan rizki, kelapangan hati, kelapangan ampunanMu dan kebahagiaan dunia akherat”.

Kita juga bisa mengirimkan doa sebagai hadiah pada orang yang telah berbuat baik pada kita, tapi tidak dapat kita balas dengan sepatutnya. Doa kepada bapak ibu guru kita dari mulai TK sampai SMA, atau mungkin juga dosen S1, S2 atau S3. Dan juga guru-guru apapun yang hakekatnya adalah orang yang telah menyumbangkan ilmunya pada kita. Bisa saja mereka adalah teman, tetangga, ustad, tukang sayur, tukang sampah atau siapapun yang telah mengajarkan kita tentang nilai-nilai kehidupan, Orang-orang yang telah membukakan mata hati kita. Orang-orang yang telah membesarkan jiwa kita.

Mari kita sisihkan sebagian dari sisi doa kita untuk mendoakan orang lain. Tidak ada yang terambil dari kita dengan mendoakan orang lain. Yang ada adalah kita menjadi semakin kaya dengan doa kita untuk orang lain, kaya hati dan kaya kebahagiaan. Mari kita mulai dari sekarang, kita galakkan persahabatan dalam doa. Persahabatan yang tidak perlu diawali dengan menjabat tanggan dan saling menggenal. Semua bisa menjadi sahabat dalam doa dengan mendoakannya dengan tulus.

1 komentar:

  1. “Doa seseorang Muslim kepada saudaranya di luar adanya yang didoakan itu adalah mustajab - yakni dikabulkan. Di sisi kepalanya ada malaikat yang diserahi untuk itu. Setiap ia berdoa untuk saudaranya itu dengan kebaikan, maka malaikat yang diserahi itu berkata: Amin - semoga Allah mengabulkan doamu itu - dan engkaupun memperoleh sebagaimana yang engkau doakan itu.” (Riwayat Muslim).

    BalasHapus