Rabu, 20 Mei 2009

Analog

Anak sulung saya adalah anak yang super aktif. Masih terbayang jelas di benak saya, tiada hari yang terlewat, tanpa kejutan-kejutan menghebohkan yang terjadi karena kelakuan-kelakuannya. Protes dari tetangga dan orang tua murid adalah hal biasa buat saya. Masih melekat erat dalam benak saya, bagaimana saya harus tetap memeluknya erat ketika dia mulai marah. Kemarahan pada anak hiperaktif, bukan seperti kemarahan pada anak2 normal. Kemarahannya tidak hanya membahayakan dirinya, tapi juga membahayakan orang lain.

Saya agak khawatir sebenarnya waktu melepaskannya untuk sekolah di salah satu SMP IT Boarding School. Saya membayangkan, bagaiman jika suatu saat ustad-ustad dan gurunya tidak sabar dengan kelakuan dan segala keisengan yang dilakukan.

Waktu kelas satu banyak sekali masalah-masalah yang timbul terkait dengan keisengan dan keaktifannya. Setiap saat saya harus menguatkan diri saya sendiri dan menyakinkan diri bahwa anakku akan baik-baik saja dan selalu dalam lindungan Allah.

Pada tahun 2006-2007, di TV sedang seru-serunya ditayangkan acara smackdown. Hampir setiap saat saya selalu mengontrol tontonan dan juga mengingatkan mereka untuk tidak ikut mencoba smackdown dan aksi –aksi yang dilakukan bintangnya di TV

Tapi sungguh di luar dugaan saya, setelah liburan semester 1. Hanya 5 hari setelah kembali ke sekolahnya, saya mendapat kabar bahwa anak saya patah tulang. Tulang betis dan tulang keringnya patah. Dengan berbagai macam rasa, cemas dan gemas saya langsung menuju ke sekolahnya di Anyer. Cemas karena takut terjadi sesuatu yang fatal. Dan gemas karena nasehat saya, 5 hari yang lalu sudah dilanggar oleh anak saya.

Tetapi pada saat saya sampai di kamarnya dengan air mata yang sudah tidak tertahankan, anak saya Ridho dengan senyum yang dipaksakan bilang, " Mama, ndak usah sedih,, aku harus ngalamin ini untuk tahu kalau omongan mama benar". Terbayang apa rasa yang ada dalam hati saya....rasa cemas dan gemas yang semula begitu menggumpal, tiba-tiba hilang lebur. Saya peluk Ridho dan yang timbul hanya rasa sayang sekali. Dan berharap Allah berkenan memberikan kesembuhan paripurna kepadanya.

Empat bulan merawatnya dan menyusun “home schooling” untuknya saya lalui dengan ringan dan ikhlas. Terkadang saya melihatnya meneteskan air matanya karena menahan sakit. Setiap saya lihat dalam kondisi seperti itu dia selalu berkata, “Bersyukurlah Ma, bahwa yang mengalami ini adalah aku, bukan adik. Kalau mama sedih, aku jangan sering ditenggokin. Biarkan aja, semuanya akan baik-baik aja. Walaupun aku akui bahwa inilah sakit yang paling sakit”. Saya tidak punya kata-kata untuk membalas caranya menghibur saya. Tapi memang sejak kejadian itu anak sulungku berubah lebih santun dan hati-hati.

Ini baru cerita kasih sayangnya ibu. Sedang kasih Allah jauh melebihi segala kasih. Andai kita bilang juga kepada Allah, seperti apa yang dikatakan anak saya, " Ya Allah,, aku rela menerima semua ujian ini, cobaan, rasa gundah ini, dan apapun yang menyesakkan dalam hidupku......karena aku yakin aku harus mengalami ini agar aku tahu bahwa yang Engkau katakan adalah BENAR". Terbayang juga kan apa yang akan dilakukan Allah. Dia kan peluk kita erat-erat dan Dia akan mendampingi kita dengan kasih sayangnya. Dan dalam dekap kasihnya,, hidup hanyalah anugrah.


Salam,, Feb Amni

Tidak ada komentar:

Posting Komentar