Sabtu, 19 Maret 2011

Rahasiaku...

Mungkin tidak ada yang mengira bahwa aku adalah penderita kelainan disleksia menulis, walaupun dalam taraf yang ringan. Kelainan ini sebenarnya sudah kusadari sejak masih duduk di kelas 1 Sekolah Dasar. Aku begitu susah membedakan huruf b dan p. Dan sangat kesulitan mengaplikasikan pemaikaian ng, ny dan nj.  Dan aku tidak tahu apakah ini berhubungan juga dengan kelemahanku dalam membedakan arah kanan dan kiri.

Aku tidak pernah sedikitpun mengganggap bahwa kelainan ini adalah sebuah kekurangan. Mungkin karena aku selalu dikelilingi oleh orang-orang yang mencintai dan menyayangiku dengan apa adanya. Dari kecil keluargaku hanya terfokus pada kelebihan yang kumiliki. Mereka selalu bangga, dengan kepandaianku bercerita dan mengarang cerita. Aku sangat gemar ikut lomba baca puisi dan pidato.

Aku baru tahu apa itu disleksia, beberapa tahun belakangan ini. Karena anak sulungku ternyata juga mengalami keadaan yang sama. Tanpa kekurangan pada disorientasi ruang.

Sisi positif dari kekurangan ini yang tampak nyata kurasakan adalah kami pejuang yang pantang menyerah dan tidak peduli dengan penilaian orang lain. Kami sadari sejak belia bahwa kami terlahir berbeda. Apa yang bagi orang lain sangat mudah untuk dikerjakan, bagi kami adalah perjuangan.

Sejak masih di bangku Sekolah Dasar saya sudah bersikeras untuk mempunyai buku harian. Aku menuliskan apapun yang ingin kutulis. Selain untuk berdialog dengan diri sendiri, itu adalah upaya kerasku untuk melatih kekurangan dalam mengenal huruf. Berbuku-buku penuh dengan tulisan, tapi aku tetap tidak bisa menyamai kemampuan orang lain secara umum. Tapi efek samping yang didapat hingga kini, pena dan buku adalah sahabat setiaku.

Aku tidak menyangka bahwa itu juga yang terjadi pada anak sulungku. Aku baru mengetahuinya belakangan ini, ketika dia mengeluhkannya secara langsung. Dan ternyata di lemari belajarnya telah terserak pula berlembar-lembar kertas yang dicoret-coret, untuk mengulang-ulang beberapa huruf. Ini adalah bentuk upaya kerasnya untuk dapat melawan kekurangan yang dia miliki.

Aku semakin terkagum-kagum dengan indahnya Allah mengatur keberagaman. Dalam kekurangannya anakku adalah anak hebat di bidangnya. Kekurangannya bukanlah hal yang penting dan patut dirisaukan. Dengan IQ 145 dia adalah penikmat mata pelajaran eksakta dengan kemampuan di atas rata-rata. Saya selalu berdoa semoga Allah selalu membimbingnya, menjadi insan yang berguna.

Malu ?? ... Tidak ada dalam kamus kami. Kami telah beradaptasi sempurna dengan rasa malu. Kami bukan orang lain. Kami adalah diri kami sendiri. Apa yang orang lain bisa, belum tentu kami bisa lakukan sebaik itu. Tapi kami pun akan menunjukkan bahwa apa yang bisa kami lakukan dengan baik, belum tentu dapat dilakukan dengan baik oleh orang lain.

Kekuranganku adalah hal lucu yang sering menghibur sahabat-sahabatku. Dan aku menikmati itu.
Kekurangan itu mendidikku dan anakku untuk berpikir berbeda.

Dan maaf.... kami bukanlah orang sensitif yang bisa tersakiti dengan kalimat-kalimat pedas dan penghinaan. Kami hampir tidak peduli dengan penilaian orang lain terhadap fisik dan kebendaan. Tapi kami adalah orang-orang yang sensitif terhadap perjuangan. Kami selalu menghargai perjuangan. Karena itulah yang selalu kami lakukan setiap hari. Maka..... bagi kami "kekurangan adalah kelebihan yang harus disyukuri"

Itulah yang selalu kutanamkan pada anak-anakku. Mereka adalah diri mereka sendiri. Tidak perlu mencari orang lain untuk menjadi tolok ukur. Karena kita diciptakan unik dan istimewa di mata Allah.

Salam,, Feb Amni