Masa
kecilnya adalah kesabaranku.. masa
remajanya adalah kekhawatiranku dan sekarang dia adalah kebanggaanku.
Tidak dapat
terlupakan ketika kami memutuskan untuk memasukkannya ke pesantren pada saat masih duduk di bangku SMP. Sungguh berat..... bagaimana tidak menyesakkan,
melepaskan seorang anak yang hiperaktif dalam pengasuhan orang lain yang
notabene tidak kami kenal dengan baik. Hampir tak dapat kujawab pertanyaannya
ketika bertanya, “Kenapa aku harus
ditaruh di pesantren Ma ? Apa Mama dan Abi
tidak sanggup mendidik Kakak”. Ohh
anakku,, hampir saja kamu melukai hati ibumu.
Dengan isak yang tertahan kujawab petanyaannya, “Bukanya tidak sanggup
Nak, tapi kamu akan diasuh dan didik oleh orang-orang yang lebih baik dari Mama
dan Abi. Kami tidak pernah belajar
menjadi orang tua, tapi Ustad-Ustad itu belajar untuk menjadi pendidik yang
baik. Mereka punya teorinya, Insyaallah
dengan itu kamu akan lebih baik dalam pengasuhan mereka.”
Waktu demi
waktu berlalu. Kesulitan demi kesulitan dapat teratasi. Cerita demi cerita
terangkai. Ternyata segala apa yang saya
khawatirkan tentang pendidikannya yang jauh di mata, tidak ada yang
terjadi. Anakku tetap baik-baik saja. Semakin hari dia semakin bisa bersosialisasi.
Ini adalah mukjizat bagi kami. Bagaimana
tidak, dalam perkembangan emosionalnya yang labil, Kakak baru bisa mengenal
nama teman sebangkunya ketika dia duduk di kelas 4 SD. Dia hidup dengan dunianya sendiri. Tetapi, ternyata
kehidupan kebersamaan di dalam pesantren telah mampu merubahnya menjadi insan
sosial. Dia mulai senang berteman. Dan mulai menikmati keberadaannya diantara
teman-temannya.
Dia pun
mulai tumbuh dengan kedewasaannya dalam berfikir. Berbagai peristiwa suka dan duka telah
mengukir hati dan jiwanya. Dan itu
membuatnya menjadi anak yang bagi kami menakjubkan. Ada satu hal yang sangat kukagumi adalah,
anakku tidak pernah lepas dari lafal “bismilah”. Dalam setiap kesempatan dan semua hal yang
akan dia lakukan dia selalu melafadkannya dengan ikhlas dan dengan hatinya. Kadang
malah kulihat dia mengucapkannya berulang-ulang dalam satu moment kegiatan
yang sama. Pernah suatu kali kutanyakan
hal itu padanya,” Siapa yang mengajarimu melakukan itu Nak”.
”Ustadku Mah” katanya. “Apa kata ustadmu ?” tanyaku lagi.
”Ustadku Mah” katanya. “Apa kata ustadmu ?” tanyaku lagi.
“Allah akan
melindungi kita jika kita selalu mengawali segala sesuatu dengan bismilah. Itu diajarkan ustad, ketika kakak habis patah
tulang kemarin Mah.”
“Subhanallah....semoga
allah merahmati ustad itu”, gunamku dalam hati.
Subhanallah,,,
begitu indahnya pendidikan yang didasarkan pada niat baik untuk membangun
generasi rabani. Terpanjat doa agar
Allah mengguatkan keikhlasan dan memberi Ustad-Ustad itu kekuatan untuk
mencetak generasi-generasi yang agung dan bermanfaat.
Keputusanku untuk memasukkannya ke pesantren adalah keputusan besar dan
sangat berat yang ternyata juga berbuah sangat indah. Anakku yang
hiperaktif telah tumbuh menjadi remaja yang menyenangkan dan pandai
bergaul. Tidak ada lagi yang patut kukhawatirkan
dari perkembanganya. Dia telah
menjadi pemuda tanggung yang tanguh.
Dia adalah sahabatku. Pernah suatu kali pada saat Ridho duduk di kelas tiga SMP. Ada kejadian yang cukup mengguncangkan. Aku begitu butuh teman, butuh tempat untuk berbagi. Tidak ada yang bisa kukatakan padanya kecuali,”Jaga baik-baik dirimu ya Nak. Jangan lupa belajar dan ibadah. Mama dan Abi tentu tidak akan dapat mendampingimu setiap saat. Suatu saat kamu harus hidup dengan dirimu sendiri. Jika saat itu tiba, jaga adik-adikmu ya”
Dia adalah sahabatku. Pernah suatu kali pada saat Ridho duduk di kelas tiga SMP. Ada kejadian yang cukup mengguncangkan. Aku begitu butuh teman, butuh tempat untuk berbagi. Tidak ada yang bisa kukatakan padanya kecuali,”Jaga baik-baik dirimu ya Nak. Jangan lupa belajar dan ibadah. Mama dan Abi tentu tidak akan dapat mendampingimu setiap saat. Suatu saat kamu harus hidup dengan dirimu sendiri. Jika saat itu tiba, jaga adik-adikmu ya”
“Mama, aku ada karena Mama dan Abi. Karena itu percayalah semua akan baik-baik
aja, dan aku janji gak akan mengecewakan Mama.”
Habis sudah
kata-kata saya untuk menggambarkan keharuan saya. Rasanya tidak ada lagi masalah yang perlu
dikhawatirkan. Karena aku telah mempunyai
penggawal hati saya. Sehingga
sampai sekarang tidak berlebihan jika saya menyebutnya “Engkaulah pahlawanku,
anakku”.
Anak saya
selalu bilang, ”Hidup ini pilihan Ma.
Kita bisa menjadi kerdil karena kita memilih untuk menjadi kerdil. Kita menjadi penakut karena kita memilih
untuk menjadi penakut. Dalam setiap
kehidupan Allah selalu menyediakan berjuta-juta pilihan dengan berjuta-juta
skenario yang sudah ditetapkan”.
Aaahh,,, anakku begitu cepatnya waktu berlalu. Kamu yang dulu selalu dalam dekapannku telah
tumbuh begitu cepat, sehingga mamamu hampir tidak dapat mengenalimu. Sejak kecil engkau telah mengajari mama
kesabaran dan ketelatenan dengan segala tingkah polahmu. Sekarang kamu telah bisa mengajari mama
dengan kata-kata bijakmu