Kamis, 22 April 2010

Kado dari Allah...

Saya selalu tersenyum, setiap kali teringat betapa dramatisnya kisah kasih saya sampai ke pelaminan. Tidak ada yang menduga bahwa saya akan memutuskan menikah dengan begitu spontanitas dengan orang yang hampir bisa dibilang tidak saya kenal dengan baik.

Tidak ada informasi penting yang saya dapatkan tentang jati diri suami saya waktu itu, selain perkenalan singkat di lorong jalan kampus. Dan satu-satunya info yang saya punya adalah bahwa dia seorang aktifis kampus karena saya sering melihatnya mengisi materi di berbagai kesempatan.

Saya tidak begitu pasti apa yang mendasari tekad suami saya untuk melamar saya beberapa hari setelah perkenalan singkat itu. Dalam ketidakpahaman saya, saya hanya mampu mengungkapkan satu kata,” Wah kalau urusanan nikah-nikahan, itu bukan urusan saya. Itu urusan bapak saya”. Saya tidak menyangka bahwa jawaban entheng saya direalisasikan oleh suami saya. Dia pergi ke Malang dan melamar ke orang tua saya.

Keterkejutan saya atas lamaran tersebut, membuat proses perkenalan selanjutnya tidak dapat kami lalui dengan mulus dan penuh kasih. Yang ada adalah perdebatan dan berbagai kejengkelan yang datang silih berganti. Saya menyebutnya “proses pendekatan tanpa kedekatan”.

Setelah enam bulan dari proses itu, saya memutuskan menerima lamarannya. Saya tidak tahu, apakah ini yang disebut hidayah. Selain mulai tersentuh dengan keteguhan hatinya, saya juga tiba-tiba tertohok oleh sebuah hadist “Jika datang padamu lamaran seorang laki-laki beriman. Maka terimalah. Karena dibelakangya adalah fitnah”. Saya seolah tidak dapat bergerak, dan kelu tanpa kata-kata. Saya tidak punya alasan untuk menyebut suami saya bukan orang beriman. Maka saya hubungi orang tua saya, bahwa saya menerima lamaran.

Tidak ada rumusan pacaran bagi saya. Menerima lamaran artinya siap untuk menikah. Padahal saat itu saya masih menginjak semester 6 dan suami saya masih dalam proses penyelesaian skripsinya.

Tidak ada kata perpaling, menerima artinya siap. Tidak sampai satu bulan kemudian maka kami menikah dengan walimatul ursy yang sangat sederhana.

Ketika saya memutuskan untuk menerima lamaran tersebut, saya menggadu pada Ar Rahman. Saya berada dalam tingkat kepasrahan tertinggi. Karena bagi saya menikah adalah menyerahkan hidup. Saya tidak dapat membayangkan bagaimana jika kita menyerahkan kendali kehidupan kita pada orang yang tidak amanah. Dalam doa saya berkata,” Ya Allah saya gadaikan padamu masa mudaku, untuk menggikuti salah satu sunah nabimu.... dengan harapan tulus agar Kau ganti dengan kebahagianku di dunia dan akherat”.

Derai air mata seakan tidak mau berhenti. Hampir semalaman saya menangis. Dan hanya satu yang menguatkan hati saya, “Saya akan mempercepat perjalanan jihad saya dengan menikah muda”. Saya selalu teringat pesan Nabi, bahwa jihad seorang wanita adalah di dalam rumah tangganya. Hadist itu membuat sejak hari itu saya selalu tersenyum laksana seorang pejuang yang siap menghadapi medan pertempurannya.

Tahun-tahun pertama, masih saya lalui dengan penuh tanda tanya. Kami adalah dua manusia yang tidak saling mengenal dengan baik, yang harus melebur dengan cepat. Kami adalah dua karakter, dua adat istiadat, dua pola pikir yang harus disatukan dengan segera. Tapi tidak disangka, tidak ada riak-riak yang berarti. Alhamdulillah kehidupan kami penuh dengan kelimpahan barokah. Walaupun masih sama-sama kuliah......tapi saya dan suami telah bisa menopang kebutuhan rumah tangga kami.

Dan sampai saat ini saya menganggap perkawinan saya adalah KADO DARI ALLAH. Kami mengibarat ikatan kami seperti buffer... dua unsur dengan kararteristik yang berbeda tetapi saling menguatkan.

Semua Langkah adalah Ibadah

Kehidupan rumah tangga saya lalui dengan ringan dan sederhana. Saya selalu menyambut hari dengan kecerian pejuang. Saya merasa beruntung, karena saya tidak perlu keluar rumah untuk disebut pejuang. Karena rumah saya adalah medan jihad saya. Semua yang saya lakukan untuk keluarga saya, adalah bernilai ibadah.

Baiti janati.....rumahku, surgaku. Dan dari rumahku pula aku perjuangkan surgaku.

Selalu Mengiring Suami dengan Doa

Bagi saya, suami bukan hanya sebagai imam. Tapi dia adalah raja yang memiliki hak atas ketaatan saya atas nama Allah. Saya selalu memegang teguh ungkapan “Ridho Allah beserta ridho suami”. Yang diperkuat oleh sebuah hadist, “jika seorang wanita telah melakukan sholat lima waktu dan puasa di bulan ramadhan dan dia taat kepada suaminya, maka dia boleh masuk surga dari pintu manapun”.

Dan saya selalu mengiring semua aktifitas suami dengan doa. Doalah kekuatan bagi seorang hamba, kekuatan bagi seorang istri yang menghamba bagi suaminya. “Ya Allah, Ya Rob......seperti Engkau mencegah Yusuf melakukan kemungkaran,seperti Engkau mencegah tentara gajah menyerang Ka’bah,, maka cegahlah suamiku dari semua hal yang Engkau haramkan. Dan bantulah dia untuk menjaga amanahnya dan menjalankan agamanya”.

Kamis, 01 April 2010

Ikatan Ilahi...

Bingung….hanya itu yang ada di pikiran saya, jika secara kebetulan menyaksikan berita-berita infotement tentang artis-artis yang bercerai. Ada yang didasari dengan alasan yang sangat kuat, yaitu tidakan kekerasan dalam rumah tangga atau alasan-alasan yang kabur, hanya sebagai komitmen bersama, tanpa perbedaan dan masalah yang prinsipal Begitu mudahnya hal itu dilakukan. Seolah-olah ikatan perkawinan, hanyalah sebatas ikatan dua orang manusia yang sama-sama lemah.



Huuuuuh…tetap bingung. Atau hanya saya yang bingung. Bukannya perkawinan mereka seharusnya jauh lebih mudah untuk dijalani karena mereka memilih sendiri calon pasangannya. Bahkan mereka sudah tahu semua kebiasaan dan kepribadiannya jauh-jauh hari, sebelum memutuskan untuk menikah. Malah ada yang sudah mencoba bersilaturahmi dengan sangat akrab, dengan bermalam di rumah calon pasangannya. Apa lagi yang kurang dari proses perkenalan, sebagai tahapan untuk mengenal calonnya luar dan dalam. Andai dibukukan, apa saja yang telah mereka ketahui tentang calonnya, mungkin sudah menjadi dua atau tiga jilid buku.



Saya membandingkan dengan proses perkawinan saya yang begitu simple. Saya merasa tidak pernah ikut memilih calon pasangan saya,, tapi saya hanya menerima hadiah yang Allah berikan pada saya. Mungkin suami saya juga berfikiran sama….mudah-mudahan. Karena merasa menerima hadiah, maka yang kami lakukan adalah selalu berterima kasih pada Allah, atas apa yang telah dianugrahkan pada kami. Karena yang memberi kami hadiah adalah, Tuhan kami yang Maha Agung, maka kami tidak berani untuk semena-mena, dan mengabaikan hadiah yang sangat kami mulyakan itu. Yang kami lakukan adalah senantiasa berlomba-lomba untuk melakukan hal-hal terbaik, untuk menjaga hadiah itu dan selalu membuat Sang Pemberi hadiah tersenyum bahagia. Dalam pandangan kami membahagiakan pasangan adalah membahagiakan Sang Pemberi hadiah. Tidak ada yang rumit,, kami hanya sama-sama bertekad untuk saling menjaga hadiah itu, agar Allah tidak pernah kecewa telah menetapkan kami sebagai penerimanya.





Ketika saya memutuskan untuk menikah di usia muda tanpa melalui proses pacaran atau perkenalan yang intens. Yang terasa sangat mengebu dalam diri saya adalah “Inilah kesempatan saya, membuktikan pada Allah, bahwa saya mencintaiNya lebih dari apapun. Termasuk lebih dari mencintai diri saya sendiri”. Gelora saya, adalah gelora Sang Pecinta. Saya tidak lagi berpikir, akan dibawa kemana saya oleh suami saya kelak. Apakah dia, lelaki yang bisa mengerti saya. Apakah dia cukup kuat untuk menopang kehidupan saya. Apakah dia benar-benar mencintai saya dan ingin membahagiakan saya....... Tidak ada pertanyaan..... saya hanya ingin Allah mencintai saya dengan apa yang akan saya lakukan untukNya. Saya akan menikah dengan laki-laki yang mencintaiNya lebih dari apapun, melebihi cintanya pada diri sendiri dan juga mungkin cintanya pada saya. Tetap dengan balutan kokohnya lantunan doa yang kamipanjatkan dari sejak malam pertama kami, “Ya Allah, kami mengikatkan diri atas namaMu. Maka kami memohon kebaikan atas karakter, tabiat dan prilakunya yang berasal dariMu. Dan kami berlindung padaMu dari segala keburukan karakter, tabiat dan prilaku yang sesungguhnya datang dariMu”.



Maka kami adalah pejuang. Dan jadilah pernikahan ini adalah medan perjuangan bagi kami. Segala kebaikan dan kebahagian yang ada di dalamnya adalah anugrah yang selalu kami syukuri. Dan segala kejadian dan peristiwa yang kurang menyenangkan,, kami anggap sebagai salah satu cara untuk membuktikan cinta kami kepadaNya. Dan kami berkata Ar Rahman, “Ya Rob, kami mencintaiMu, bukan karena yang Kau berikan pada kami......tapi karena Engkaulah makna dari hidup ini sesungguhnya’. Dan untuk apapun yang terasa berat dalam perkawinan, kami katakanlah “Aku ada untukMu, Kekasihku. Dan aku akan menjalani apapun yang Kau mau”. Karena kami yakin, tidak ada yang direncanakan Sang Maha Pencinta selain kebaikan bagi kami di masa sekarang atau masa yang akan datang.



Kerena itu bagi kami, pernikahan bukanlah ikatan dua manusia. Tapi pernikahan adalah IKATAN ILAHIAH atas dua orang manusia.