Bisakah kita bayangkan jika 20-30 tahun yang akan datang
tidak ada lagi pemuda yang tertarik untuk menjadi petani, peternak, petambak
atau nelayan. Atau dengan kata lain sektor
agraris mejadi hal yang tidak lagi menarik bagi generasi muda. Saat
dimana generasi muda lebih memilih untuk bekerja menjadi buruh, tukang ojek atau bekerja di sektor-sektor
informal sebagai pedagang kecil-kecilan dan lain-lain. Saat inipun sebenarnya sudah menggambarkan
krisis ketertarikan tersebut. Desa-desa
mulai ditinggalkan. Daerah-daerah
pesisir dan pedalaman mulai kehilangan pemudanya. Dan para petani, peternak dan nelayan mulai
menasehatkan kepada anaknya, “Sekolahlah yang benar Nak, agar suatu saat nanti
kamu dapat menjadi orang yang berhasil tidak seperti bapak yang hanya menjadi
petani/nelayan”. Petani/nelayan yang beruntung bisa
menyekolahkan anaknya, berharap suatu saat nanti anaknya akan dapat menjadi
pegawai dan bukan menjadi petani/nelayan seperti
dirinya. Gambaran hidup menjadi petani
atau nelayan menjadi menakutkan dan tidak menjadi alternatif pilihan hidup bagi generasi muda.
Jadi dapatkah anda bayangkan jika 20-30 tahun yang
akan datang tidak ada lagi beras, ikan, sayur mayur dan buah-buahan yang diproduksi di dalam negeri. Semua harus diimport dan didatangkan dari negara
lain. Maka makan ikan asin dengan sayur
bayam sekalipun akan menjadi sajian yang mewah.
Tidak ada lagi sayur mayur, buah, beras, ikan, ayam, atau telur yang
bisa dibeli dengan harga murah.
Bagi mereka yang punya uang mungkin bisa bilang tidak
peduli. Tapi masihkah mereka tidak
peduli jika orang di sekitarnya menjadi orang-orang yang buas karena kelaparan.
Mudah-mudahan tidak ya. Dan mudah-mudahan juga kondisi itu tidak akan
terjadi. Tetapi gambaran pahit itu bukan
berarti tidak mungkin terjadi di negara kita yang gemah ripah loh jinawi
ini. Di negara yang digambarkan sebagai
surganya agribisnis karena tanaman apapun bisa tumbuh dengan subur. Tapi sumberdaya alam yang subur ini tidak
berarti apa-apa tanpa ada yang menggarap.
Sebelum terlambat….maka sekaranglah saatnya peduli.
Saya pun sebagai alumni IPB, sangat-sangat malu karena sejak
dulu tidak memilih untuk menggeluti sektor pertanian sebagai lahan bisnis
maupun lahan saya dalam berkarya. Baru dua
tahun belakangan ini, atas dukungan seorang teman, kami mulai membangun kembali
semangat untuk menggerakkan sektor agraris.
Dimulai dari 1800m tanah yang diperuntukkan untuk budidaya ikan air
tawar, peternakan ayam kecil-kecilan dan penanaman sayur-mayur secara tumpang
sari.
Kami membangun usaha ini dengan semangat membangkitkan kembali ketertarikan
pemuda dalam sektor agraris. Karena itu
kami memilih bentuk usaha kemitraan antara pemodal dan Kelompok Tani. Kami menamakannya Kelompok Tani Mina Insan Karya. Kami mulai dengan menggabungkan 12 semangat
anak-anak muda didalamnya.
Mudah ?....tentu tidak.
Setelah memasuki sendiri sektor ini, kami baru menyadari betapa kerasnya
perjuangan petani/peternak. Dengan modal
yang tidak bisa dibilang kecil, kami harus berhadapan dengan tingkat spekulasi
yang sangat tinggi. Kondisi alam, cuaca,
hama, penyakit menjadi hal yang bisa datang tiba-tiba seperti sebuah bencana
alam.
Kami dapat pelajaran pertama dengan hilangnya benih-benih
lele hanya satu minggu setelah ditabur karena air sungai yang meluap. Kami tidak pernah menyangka bahwa kondisi
empang yang cukup dalam, masih bisa meluap ketika hujan sangat lebat. Setelah itu baru kami memasang paranet
disekitar empang.
Sedih ? ….. iya. Beberapa
anggota Kelompok Tani malah memutuskan untuk keluar, karena merasa tidak yakin
bahwa usaha budidaya ini akan berhasil. Padahal
pola usaha yang kami tawarkan sudah sangat memihak kepada petani
penggarap. Sebagai pemodal kami
berkewajiban menyediakan tanah, benih dan pakan. Dan sebagai petani penggarap mereka
berkewajiban untuk memelihara dan merawat ikan yang kita budidayakan sampai
siap dipanen. Pada saat panen nanti pemodal
hanya mendapatkan 30% dari keuntungan bersih dan petani penggarap mendapat
sisanya.
Jika anda bertanya apa yang kami dapatkan dalam hampir 2
tahun ini. Secara materi…..tidak
ada. Tapi kami mendapat kepuasan atas
terlaksananya idealisme kami untuk turut mengambil peran dalam lahirnya kembali
petani-petani dan peternak-peternak muda.
Dan satu pelajaran yang sangat penting yang tidak akan kami lupakan
adalah bahwa para petani dan peternak dan juga nelayan tentunya adalah
pahlawan-pahlawan yang telah mengorbankan hidupnya untuk menjamin kelangsungan
hidup kita semua. Mereka rela jauh dari
kemewahan. Jauh dari kemajuan. Jauh dari kenyamanan dan juga jauh dari rasa
aman. Hidup mereka seperti
bertaruh. Bertaruh dengan alam. Bertaruh dengan cuaca dan bertaruh dengan
hama dan penyakit. Tidak ada yang dapat
dipastikan dalam hidup mereka. Ketika mereka
berupaya sepanjang hidupnya untuk menjamin kita kenyang, mereka sendiri
terkadang tidak tahu, harus makan apa besok.
Hiks….sedih. Padahal
masih banyak dari kita yang tidak pernah rela membayar lebih untuk semua sayur,
buah atau ikan yang dijual dipasar. Kita
hanya ingin semua tersedia dalam harga murah.
Maka saat ini, ditengah hujan yang deras menguyur negri….. marilah kita
ingat petani yang sedang sibuk membajak
tanah tanpa memperdulikan badannya telah menyatu dalam lumpur dan hujan.
Seharusnya menjadi hal yang aneh jika tanah yang subur dan luas ini tidak menjadi hal yang menarik untuk diusahakan sebagai lahan produksi. Dalam sebuah lagu malah digambarkan “Tongkat dan batu pun jadi tanaman”. Saya bukan orang pandai yang bisa merekomendasikan langkah-langkah akurat yang bisa diambil oleh pemerintah. Saya hanya berharap suatu saat nanti pemerintah dan kita semua menjadi sangat peduli terhadap sektor pertanian. Dan suatu saat nanti petani-petani kita dapat hidup sejahtera, dan dapat menggarap lahannya dengan bantuan teknologi modern. Sehingga kita tidak perlu ketakutan dengan pepatah “tikus mati di lumbung padi” dan tidak ada lagi gambaran yang mengidentikkan petani/nelayan dengan kemiskinan.
Tulisan ini saya buat hanya untuk menyentuh setiap hati agar
peduli kepada petani/peternak dan nelayan.
Mudah-mudahan kepedulian itu akan menjadi tindakan nyata…..kecil atau
besar, untuk menolong petani menjadi lebih sejahtera. Dan juga membujuk para pemuda untuk kembali tertarik
kepada sektor agraris. Sehingga 10 tahun
yang akan datang kita akan mendapati siswa-siswa di Sekolah Dasar menuliskan
cita-citanya sebagai “petani”, “peternak” atau nelayan”