Rabu, 14 September 2011

Tompel Dosa..

Satu hal yang kusuka dari moment silaturahmi dan ngrubuk’an di rumah orang tua di kampung halaman adalah moment saling bertukar cerita dan bertukar buku bacaan. Karena keterbatasan ruang, maka biasanya hampir semua anggota keluarga yang menginap di rumah orang tua meletakkan buku bacaannya di ruang keluarga. Sehingga kita dapat dengan mudah melihat siapa dan buku apa yang dibacanya. Kami dapat saling bertukar pesan moral, hikmah atau hanya sekedar berbagi cerita lucu.

Sore itu Si Adek dengan bangga menunjukkan buku yang sedang dibacanya.
“Seru nih Kak.... analognya pas, bahasanya asyiik”
“Emang apa isinya ? “, tanya Si Kakak tanpa menggeser pandangannya sedikitpun dari buku yang dibacanya.
“Nihh dengerin ya ! Coba bayangin seandainya setiap dosa kita diwujudkan menjadi satu tompel yang menempel di permukaan kulit. Bisa kebayang kan berapa banyak tompel yang akan menutupi wajah dan badan kita dalam sehari. Kalau setahun......waaaaaaaa,, bisa penuh tuuh badan sama tompel. Lha.....kalau sudah puluhan tahun, pasti gak akan ada lagi orang ganteng dan orang cantik di bumi ini karena semua orang akan sama semua.......muka dan badannya item mirip kayak Shaun the Sheep.”
Hiiiiiiiiii.....”, imbuhnya sambil bergidig membayangkan semua orang menjadi item bulet karena penuh sama tompel yang bertumpuk-tumpuk. Cuma mungkin beberapa orang yang masih ingin tampil ‘modis maksa’, masih memakai mantel bulu warna-warni atau syal mahal yang halusnya mirip kulit domba beneran minus bau lebusnya pasti.

“hahahaha.....”, serempak Si Kakak dan kakak-kakak sepupunya tertawa ngakak dengan imajinasinya sendiri-sendiri, tentang tompel dan modifikasinya. Si Kakak sudah langsung membayangkan temen deketnya yang postur bawaannya dari sononya sudah bulet dan item. Jidatnya jadi terpaksa agak mengkerut mencari bayangan yang pas untuk Si Endut ini kalau tompel-tompel dosa itu juga harus memenuhi tubuhnya yang sudah tambun maksimal itu. Akhirnya dengan sedikit frustasi tanpa perjuangan, sang kakak pun mengajukan protes, “Gak seru....gak seru !!!!! masak semua orang bentuknya jadi sama. Kan notabene nggak ada orang yang nggak pernah melakukan dosa. Jadi semua orang jadi item-item semua dong. Apalagi kalau dosa-dosa kecil juga ikut diitung..... bisa penuh tuh badan”. Sambil otaknya tetap aktif berputar dan berfikir keras untuk mencari bayangan yang pas untuk teman-teman cewek di kampus yang sudah mulai ditaksirnya. “Waaah jadi ilfil nih, “ batinnya. Kebayang si Nina yang ayu dengan wajah imut dan kulit putih mulus, tapi hobbynya nggosip dan cari-cari kesalahan orang lain. juga si Nana, yang gak kalah cantik tapi paling doyan berburu cowo tajir buat diporotin. Apalagi si Nani yang item manis tapi ngomongnya pedes mulu. Lhaaa,,, tampang-tampang mereka ini akan jadi seperti apa kalau semua dosa-dosa kecil dan besarnya di tandai dengan tumbuhnya tompel-tompel dosa di seluruh badan. “Hiiiiiiii......,” sang kakak jadi ikut begidig kebayang bakal harus sabar menjomblo daripada pacaran sama cewek-cewek bertompel.


Hahaha, lha emangnya Si Kakak ini cuma membayangkan orang lain yang gampang melakukan dosa. Dirinya sendiri terlewat dari introspeksi. Pantaslah kalau kondisi iseperti ini diabadikan oleh sebuah pribahasa “Semut di seberang lautan tampak, Gajah di pelupuk mata tak tampak”. Ternyata sampai beratus-ratus tahun, pribahasa ini masih akurat. Hampir semua orang lebih mudah melihat kesalahan orang lain daripada melihat kesalahan diri sendiri.
“Ada terusannya nih....!!!,” kata si Adek. “Tapi Tuhan yang baik hati selalu memberi kesempatan kepada hambanya yang berbuat dosa untuk bertobat dan memohon ampun. Sehingga jika tobatnya diterima dan diampuni maka tompelnya akan hilang dan kulitnya mulus lagi”.

Duuuuh.... jadi ikut lega rasanya bisa membayangkan kembali si Nina, Nana dan Nani tampil cantik jelita, putih mulus dan ramping gemulai tanpa hiasan tompel-tompel dosa yang jorok itu. Tapi ya apa iya, si Nina, Nana dan Nina ini akan sering-sering inget kalau apa yang sering mereka lakukan adalah perbuatan dosa. Lha wong mereka sudah merasa nyaman kok dengan kebiasaan-kebiasaan dosanya itu. “Aduuuuh tobat dong tobat....”,kembali Si Kakak terganggu dengan bayangannya yang nggak cantik lagi.

Pantas aja kalau Nabi berpesan , “Semua (dosa) umatku akan diampuni kecuali orang yang berbuat (dosa) terang-terangan, yaitu yang melakukan perbuatan dosa pada malam hari lalu Allah menutup-nutupinya kemudian pada esok harinya dia bercerita kepada kawannya, ‘Tadi malam aku berbuat begini...begini...’ Lalu dia membongkar rahasia yang telah ditutup-tutupi Allah 'Azza wajalla ( HR. Abu Dzar)”, batinku. Halah,, kok nggak nyambung ya. Nggak papa wis yang penting maksudnya itu “Manusia itu tempatnya salah dan dosa tapi jangan sampai kita menjadikan dosa sebagai sebuah kebiasaan apalagi kalau sudah berbuat dosa, bangga lagi. Walah-walah lha kok keterlaluan banget. Gimana mau mikirin tobat kalau dosa menjadi sebuah target, prestise dan jadi ajang pamer karena berani bertentang-tentangan sama Allah. Hiiiii..... Audzubillahimindzalik.... Semoga kita terhindar dari sifat-sifat yang demikian.

Nggak sengaja Kakek yang sedang berkencan dengan buku bacaannya sendiri mulai tertarik dengan obrolan anak-anak remaja tanggung ini.
“Untung ya Allah sayang kita semua. Allah tidak menampakkan kesalahan-kesalahan dan dosa-dosa kita kepada orang lain. tidak menyerupakan dengan tompel, bisul atau panu sekalipun. Orang yang dosanya segunungpun masih bisa pura-pura menjadi orang baik, Kyai atau orang suci sekalipun. Nggak pernah ada yang tahu. Semua dosa ditangguhkan pembalasannya sampai hari perhitungan kelak di padang Mashar. Hanya dua dosa yang balasannya dibayar kontan di dunia, yaitu durhaka pada orang tua dan berbuat dzalim. Dua dosa ini dibayar cash.....TUNAI”.

“Dzalim itu seperti apa sih Khai”, serobot si Adek buru-buru. Bukan karena antusias tapi lebih karena takut keburu lupa dengan pertanyaannya.

Dengan tersenyum teduh dan penuh kasih yang tidak dibuat-buat, Kakek yang selalu membuat kangen cucu-cucunya ini mencoba menerangkan. “Dzalim adalah melakukan perbuatan yang melewati batas terhadap jiwa, harta atau kehormatan orang lain. atau dengan bahasa yang lebih sederhana, dzalim adalah pelanggaran terhadap hak. Hak siapa saja, bisa hak orang lain, hak masyarakat, haknegara, hak lingkungan dan juga hak diri sendiri. Karena itu ketika kamu sekarang atau nanti berada dalam posisi yang lebih tinggi dari orang lain berhati-hatilah. Karena doa orang yang terdzalimi akan sampai ke langit tanpa perantara. Terdengar oleh Sang Penguasa Langit dan bumi tanpa penyekat dan penghalang. dan dikabulkan sebagai penebus kesedihan dan ketidak berdayaan mereka”.
“Waaah, pasti kalau orang dzalim tompelnya gedhe banget ya”, seru Adek sambil tetap begidig digelitik bayangannya sendiri.

Subhanallah itulah serunya silaturahmi. Kakek, Nenek, Bapak, Ibu, anak, Cucu bisa bertukar hikmah tanpa batasan. Cerita tompel pun jadi tetap terasa indah untuk disimpan menjadi memori penghias hati. Senyum teduh Kakek, senyum jahil si Adek dan pertanyaan-pertanyaan nggak mikir si Kakak pun menjadi warna yang membuat moment silaturahmi Lebaran ini selalu dinanti-nantikan. Selamat menanti Ramadhan dan Lebaran tahun depan....hehe


*Buku yang dibaca Adek : Allah Sayang aku kok, Edi Mulyono, Diva Pers

Keranjang untuk Kakek..

Mungkin masih ingat cerita ini. Cerita tentang sepasang suami istri dengan seorang anak dan kakeknya yang sudah sangat tua renta. Karena kerentaannya Si Kakek sudah hampir tidak bisa melakukan kegiatan apa-apa. Bahkan semua keperluannya harus dicukupi oleh orang lain. Juga karena kerentaannya kadang-kadang Si Kakek malah menimbulkan kerepotan-kerepotan yang menyebalkan. Seperti buang air di celana atau terbatuk-batuk sampai muntah dan mengotori lantai atau tempat tidur. Karena kerepotan-kerepotan itu maka suami istri itu memutuskan untuk membuang Si Kakek ke hutan.

Segera dipersiapkanlah segala keperluan untuk kepindahan Sang Kakek ke hutan. Keranjang besar dari bambu, keperluan makan kira-kira untuk satu minggu, selimut, dan beberapa stel pakaian.

Keesokan harinya, diiring anak kecilnya yang membantu membawakan segala keperluan Si Kakek berjalan beriring di belakang bapaknya yang mengendong keranjang besar. Tidak ada kata-kata yang terucap. Mereka berdua diselimuti oleh perasaan yang tidak dapat dimengerti. Si Bapak yang tidak mau repot dan tidak ingin merepotkan istrinya, terpaksa dengan berat hati harus menyetujui usul istrinya untuk membuang Kakek ke hutan. Si Anak dengan kepolosannya mencoba menerka-nerka apa gerangan yang akan mereka lakukan di hutan. Dia hanya tidak berani bicara. Karena buat anak kecil itu, moment berjalan-jalan bersama Bapak dan Kakeknya adalah hal yang sangat langka. Dia khawatir jika banyak bertanya, maka bapaknya akan memintanya tinggal di rumah dan membatalkan acara jalan-jalan ini. sudah terbayang di benaknya, makan bersama di hutan dengan makanan dan alas tikar yang telah dipersiapkan ibunya dari kemarin. “Atau malah kami akan menginap di hutan,” batinnya. Karena dia melihat ibunya juga mempersiapkan selimut dan menyelipkan beberapa baju.

Sesampai di hutan, Si Bapak langsung menurunkan Kakek dan mengeluarkannya dari dalam keranjang. Dicarinya tempat yang kira-kira paling nyaman, dari semua pilihan yang tidak nyaman disekitar hutan. Tikar dan selimut digelar. Tidak ada kata-kata yang terucap, hanya bisikan lirih yang hampir tidak terdengar , “maafkan saya, Pak”.

Dia segera berlalu sambil megandeng tangan anak kecilnya. Si Anak kebingungan, tidak mengerti dengan semua yang dilihatnya. Kenapa tidak ada piknik, kenapa Kakek ditingalkan di hutan, kenapa harus buru-buru pulang. Tanpa memberi kesempatan si Anak untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan, dengan langkah yang terburu-buru diseretnya anak kecil itu tergesa. Belum sempat 200m, Si Anak yang terseok-seok mengikuti langkah Si Bapak, mendadak menghentikan langkahnya.
“Kenapa berhenti ?”, tanya bapaknya
“Kenapa Kakek ditinggal ?”
“Nanti Bapak jelaskan di rumah. Lebih baik kita keluar dulu dari hutan ini sebelum gelap”.
“Aku mau menemani Kakek. Nanti siapa yang menolong Kakek mengambilkan minum kalau Kakek ditinggal sendiri. Aku nggak maaaauu pulang !!!!!!!”.

Terpaksa Si Bapak menyurutkan langkahnya dan berjongkok mendekati anaknya. “Kita harus meninggalkan Kakek di hutan ini, karena Bapak dan Ibu sudah tidak mampu lagi mengurusi Kakekmu. Kakek sudah tidak ada gunanya lagi untuk keluarga kita, selain menambah kerepotan-kerepotan saja”.

Anak kecil yang masih lugu itu mencoba mengerti alasan yang diungkapkan bapaknya. Beberapa saat kemudian dia membalikkan badan dan berkata, “Kalau begitu keranjang itu jangan ditinggalkan. Harus kita bawa pulang. Agar kelak kalau Bapak sudah tua dan tidak berguna seperti Kakek, aku tidak perlu repot-repot lagi menganyam keranjang bambu untuk membuang Bapak ke hutan”.

Jegguuuarrrrrr......seperti ada sambaran petir yang tiba-tiba menerangi pikiran dan hati nurani Si Bapak. Terbayang olehnya bagaimana ketika dia tua renta, nanti akan dimasukkan dalam keranjang bambu yang sama dan dibuang di hutan dalam ketidak berdayaan sama persis seperti yang dia lakukan sekarang kepada Bapak kandungnya sendiri. Sontak dia membalikkan langkah kembali ke hutan dan membawa kembali bapaknya ke rumah. Merawat dan memenuhi keperluannya seperti bapaknya merawat dan memenuhi keperluaannya ketika dia masih bayi dan tidak berdaya.

Itulah hukum alam.....apa yang kita tanam sekarang itulah yang akan kita tuai esok. Apa yang kita kita contohkan pada anak-anak kita sekarang bagaimana cara memperlakukan dan menghormati orang tua kita, maka seperti itulah kelak kita akan diperlakukan oleh mereka. Jadi jangan pernah berhitung berapa banyak biaya yang kita keluarkan untuk sering-sering bersilaturahmi kepada orang tua, jika kita menginginkan kelak anak-anak juga akan rajin mengunjungi kita kelak....... hehe, ini juga oleh-oleh lebaran lho.

Abahku Keren Sekali..

Satu lagi yang selalu kurindukan setiap pulang ke malang adalah kegiatan mengantar Abah jalan-jalan sekalian belanja sayur dan buah di pasar tradisional. Sejak kecil imut-imut sampe hampir tua amit-amit gini rasa yang ditimbulkan dari kegiatan ini tetap sama, senang, bahagia dan riang. Keriangan yang tidak bisa digambarkan dengan warna-warni buah-buahan yang dipajang hampir di seluruh selasar pasar yang bau apeknya juga tetap sama dari dulu hingga kini. Keriangan yang tak mempan dihapus oleh bau kotoran kuda dan bau menyengat selokan mampet. Aaahh,,, tidak ada yang bisa mengalahkan indahnya menikmati hangatnya gandengan tangan Abah yang tetap kekar pada usianya yang sudah memasuki 72 tahun.

Sejak memasuki gerbangnya yang penuh sesak, Abah sudah menebar senyumnya ke sebagian besar pedagang yang mungkin memang dikenalnya atau memang Abah sengaja meniatkan untuk menebar sedekah senyumnya....hehe. Tapi senyum Abah memang manis dan tulus kok. Makanya tidak heran jika senyumnya laku, dan selalu dapat imbalan yang setimpal berupa senyum manis pula dari Si Mbokde, Si Paklik, Si Mas dan juga Mbakyu-Mbakyu para pedagang. Malah beberapa yang tidak kebagian senyum juga ikut-ikutan caper (cari perhatian) dengan berteriak-teriak menyuruh kami mampir.
“Sini pakne, mangganya masak pohon niko”
“Pak Haji mampir sini,,,, pecelnya baru mateng”
“Niki terong’ipun pakde, masak pohon juga lho”...... Halah,, ini kok semuanya jadi pada over acting. Terongpun dibilang masak pohon. Ya pasti udah alot dan nggak bisa dimakan tuh, kalau terong dibiarin masak di pohon....wkwkwwk.
Lhooo....apa malah aku yo yang keGRan karena jarang masuk pasar tradional. Lha maklum tho, biasanya kalau masuk supermarket cuma dicuekin aja sama SPG-SPGnya .... Hehe, jadi merasa tenar nih.
Aku juga suka melihat simbok-simbok tua yang berjualan di pasar ini. semuanya tampak bahagia. Semuanya tampak menikmati apa yang sedang mereka kerjakan. Mereka melayani pembeli sambil diselingi obrolan-obrolan ringan dan candaan yang mengelitik. Walau ada beberapa yang kelihatan jutek, tapi di mata teman-temannya sesama simbok pedagang, dia tetap manusia yang lucu yang layak untuk ditertawakan. Jadi alhasil, keputusannya untuk jutek jadi sia-sia deh disapu kelakar dan guyonan teman-temannya.

Abah mulai memilih-milih sayur dan buah apa yang tampak menggugah seleranya.
“Abah mau beli timun”, kata abah sambil menghampiri salah satu simbok yang senyumnya paling lebar.
“Mbok, pinten timun’e sekilo ?”
Simbok yang ditanya terkekeh sambil memegang perutnya dan memukul-mukul pahanya yang ramping. Beneran langsing lho. Hampir semua simbok-simbok pedagang di pasar ini langsing-langsing. Mungkin selain karena keterbatasan jumlah asupan yang dimakan, mereka juga doyan banget minum jamu. Udah gitu perutnya juga dibebet rapi pakai stagen yang panjangnya 10-20 m. Byuuuh, gimana gak langsing lha wong memang perut sebagai wadah penampungnya dikempesin gitu. Tapi sungguh salut, mereka buta huruf tapi sudah mendarah daging mengamalkan sunah rasul untuk “berhenti makan sebelum kenyang”.
“lhooo, wonten nopo mbok ?” kata Abah dengan wajah terheran-heran.
Simbok itu tetap saja terkekeh, memamerkan sederetan gigi yang memerah karena ‘nginang’.
“Niiiiku......te RONG”
“Haaaaaaaaaa.....” Abah spontan melolot dan mencomot buah yang dari tadi dipikirnya timun itu. “Hehehe......terong tho. Maklum nih mbok matane wong tuwek”, Abah mencoba menjelaskan sambil mencoba membetulkan posisi kacamatanya.
“Mboten nopo-nopo Pak Kaji, sami-sami sepuh’e”.
“Jadi ini berapa Mbok sekilo ?”
“Tiga ribu mawon Pak”
“Yo wis, tumbas dua kilo ya Mbok”.
Simbok pedagang itu sibuk memilihkan timum-timun yang paling montok dan ranum. Beda banget ya dengan kalau kita belanja di kota besar. Ketika kita mencoba untuk memilih buah yang baik-baik,mereka malah mencoba untuk memasukkan buah-buah dengan mutu yang jelek. Walaupun tidak semua begitu, tapi menemukan pedangan yang baik hati, jujur dan ikhlas di kota besar, sudah seperti menemukan jarum dalam tumpukan jerami.
“Ini timunnya dua kilo dan ini imbuhnya ya, Nduk”
“Matur nuwun ya Mbah”.
Wiiii, asyik dapet imbuh. Padahal kami belum sempet minta lho. Tetep seneng dan girang, setiap dapet bonus seperti ini. Walaupun cuma berupa dua buah timun yang ukurannya paling mungil.
“Itu sedekahnya pedagang”, kata Abah.
“Hebat ya Bah, padahal mencukupkan timbangan saja sudah berpahala, apalagi kalau melebihkannya ya”.
“Kalau mereka mencukupkan timbangan,mereka dapat pahala jual beli dengan cara yang benar. Tapi kalau mereka memberikan tambahan pada timbangannya, mereka mendapat pahala sedekah. Orang seperti mereka kan nggak banyak punya kesempatan untuk bersedekah. Makanya mereka mengambil momentum berdagang untuk menuai pahala sedekah”.

Subhanallah..... dalam keterbatasan, masih cerdas mencari peluang untuk menabung amal. Bukan hanya pada orang yang lebih membutuhkan, tapi juga pada kami yang notabene punya cukup uang kalau hanya sekedar membeli satu-atau dua karung timun. Tapi tidak dapat disangkal, dua timun imbuhan itu mampu membuat kami girang dan senang. Dan aku yakin pahala Simbok itu menghadiahi kami kegirangan ini pasti tidak kalah besar dengan pahala seorang jutawan yang mengadakan buka puasa dan sahur bersama untuk 1000 anak yatim dan anak-anak jalanan.
“Karena itu kamu sebagai pedagang yang jauh lebih besar dan lebih pinter dari simbok pedagang timun itu, mestinya harus punya lebih banyak cara untuk menuai pahala dari perdagangan. Itu ladangmu, tanamnya sebanyak-banyaknya untuk akheratmu. Karena sesungguhnya kekayaan kita itu hanyalah apa yang habis kita makan, apa yang kita pakai, dan apa yang telah kita amalkan. Selebihnya belum bisa disebut kekayaan karena itu hanya titipan Allah, yang kebetulan diamatkan ke kamu dan keluargamu”.

“Iya Abah, insyaallah,” jawabku singkat dengan tetap menggegam tangan Abahku erat-erat. “Kita beli buah dan sayur lagi yuuk Bah, supaya bisa memberi mereka kesempatan bersedekah dengan imbuh-imbuhannya. Dan kita dapat kesempatan juga bersedekah senyum termanis pada mereka. Kali aja di pasar yang butek ini, memang senyum kita yang paling manis Bah, makanya dapet imbuhan terus”. Hehe, ayooo senyum lagi Bah, biar Abahku yang sudah sepuh tapi paling keren ini, nggak pernah kehilangan semangat bersedekah lewat senyum manisnya. Indahnya silaturahmi, indahnya bersedekah..... Pasar Dinoyo, I’ll always miss u......

Berbagi Cerita (2)

Nafas tersengal-sengal, tangan terkepal tegang, mata memerah dengan keringat yang mulai membasahi dahi dan bajunya. Tidak ada air mata, tidak juga kata-kata hanya badan mungilnya yang mulai memberontak kasar. Inilah yang selalu terjadi jika anakku mulai merasa kenyamanan dunia kecilnya terusik.
“Ada apa lagi ini ?”, pikirku. Baru 15 menit aku minggalkannya bermain di luar bersama-sama teman-temannya. Semua berjalan tenang dan damai 15 menit yang lalu. Belum juga selesai urusanku menyiapkan makan malam untuk abi yang hampir datang. Harus terpotong oleh kegaduhan yang mengharuskanku melonggok Ridho kecilku. “Ahh,, pasti ada korban lagi nih seperti biasa”, gunam hatiku. Tapi mau tak mau aku melangkah kembali keluar rumah.
“Mama Ridho..... itu Ridho marah-marah”, kata beberapa anak saling berlomba menggabarkan.
“Sama siapa ? “ tanyaku
“Sama Jamal”
“Kenapa ?”
Semua menggeleng serempak. Seperti biasa pula, tidak ada yang tahu apa yang menyebabkan kemarahannya.
“Sekarang Ridho mana ?”
“Nggejar Jamal ke arah sana” sahut mereka sambil menunjuk arah yang menjauhi rumah.

Ooh Tuhan,, apa yang bisa aku lakukan di tengah gelap seperti ini. Anakku menggejar-ngejar anak orang dalam marah. Tidak ada yang bisa menebak apa yang akan terjadi. Dalam kondisi marah seperti itu, anakku tidak hanya bisa membahayakan diri orang lain tapi juga dirinya sendiri.
“Ya Allah, selamatkan anakku. Lindungi mereka berdua. Tidak ada daya dan kekuatan pada diriku kecuali dengan kekuatanMU”
Kutarik nafas panjang berkali-kali. Kususun ketenangan berlipat-lipat. Kusiapkan kesabaran bergunung-gunung. Dan kupasang wajah teramah yang kupunya.
“Bismillah” ucapku dalam hati. Dan segera kuberlari menuju arah yang ditunjukkan tadi. Belum terlalu jauh rupanya. Jamal dan Ridho gaduh berkejar-kejaran menggelilingi rumah salah satu warga yang berjarak sekitar 300 m dari rumahku. Beruntung Jamal jauh lebih besar dibanding Ridho. Mereka terpaut 5 tahun. Ridho TK B, Jamal kelas 4 SD, sehingga Jamal mampu lari lebih cepat dan memilih tempat yang aman untuk menghindar.

Ketika aku sampai di rumah itu, tak kulihat lagi Jamal. Mungkin dia telah sembunyi di salah satu kamar. Hanya Ridho yang diam mematung tetap dengan nafas tersengal sengal dan gemeretak gigi yang beradu karena marah. “Bismilah”, batinku lagi dalam hati. Ini adalah satu-satunya mantra yang dapat mengeluarkanku dari sisi kemanusiawian, menuju ke sisi kearifan dan kesabaran yang lebih tinggi. Dalam situasi seperti ini, aku tidak boleh bersifat manusiawi. Manusiawi, jika tidak sabar. Manusiawi, jika terbawa emosi. Manusiawi, jika panik. Tidak boleh......aku harus menanggalkan semua sifat manusiawi itu demi anakku. Semuanya harus tetap terkontrol, tenang, damai dan penuh penerimaan.

Kudekati anakku perlahan. Dengan senyum termanis dan seikhlas-ikhlasnya. Kukembangkan kedua tangan bersiap untuk merengkuhnya dalam pelukanku. Kucoba meraih tangannya, tapi ditampisnya kasar. Aku berjongkok di depannya. Kutatap matanya lekat-lekat. Dan aku kembali tersenyum. Raut wajah beringasnya mulai mengendur. Sepertinya dia ingin membalas senyumanku. Berpuluh-puluh lantunan doa tetap kulafadzkan dalam hati. Kuraih dia dalam pelukanku berlahan-lahan. Sangat perlahan, karena aku takut mengagetkankannya. Oohh,, akhirnya anakku ada dalam pelukanku. “Terimaksih ya Tuhan”, gunamku dalam hati.

Kubacakan surah Al Fatihah dan kutiupkan ke wajahnya. Aku tidak tahu sebenarnya apa khasiatnya. Ibuku yang mengajarkannya. Dan aku menurut saja.
“Untuk menghilangkan pengaruh-pengaruh negatif (syetan) yang mungkin menempel”, itu katanya.
Entahlah, awalnya aku tidak percaya. Tetapi ketika kucoba, kulihat Ridho senang dengan terpaan hembusan nafasku yang semilir mengenai wajahnya. Dia selalu tersenyum setelah aku melakukan itu. Maka jadilah itu ritualku kalau aku merindukan senyumnya atau saat aku meredakan amarahnya. Bahkan pada saat akan tidur, Ridho suka menagihku untuk melakukan ritual itu kembali. Kami membaca Al Fatihah bersama-sama dan saling meniup wajah. Karena itu tidak mengherankan jika ridho sudah bisa menghafal beberapa surat pendek ketika dia masih berumur 4 tahun.

Itulah satu sisi yang selalu menghiburku. Di tengah kehiruk pikukannya, Ridho adalah anak yang cerdas. Keingintahuan dan kemauannya untuk memahami sesuatu, sangat tinggi. Karena itulah ibu-ibu di sekitarku, tidak lagi menghujatku seperti dulu. Menuduhku aku sebagai ibu yang tidak bisa mendidik dan mengendalikan anak dengan baik. Mereka lebih bisa memahami Ridho dalam sisi positif disamping sisi negatifnya. Mereka mulai lebih menerima anakku sebagai anak yang unik, bukan anak yang nakal.

Ibu-ibu di sekitar rumah lebih memilih cara aman yaitu menghindarkan anak-anaknya berinteraksi terlalu lama dengan anakku.
“Ayo masuk”, teriak beberapa ibu kepada anak-anak jika melihat Ridho mulai melangkah ke luar rumah. Karena itu, aku mencoba untuk membatasi waktu bermain anakku di luar. Kucoba untuk membangun istana kecilnya di rumah. Berbagai macam buku dan puzle yang menjadi kesukaannya kami sediakan. Permainannya adalah salah satu prioritas, walau dalam keterbatasan ekonomi kami saat itu sebagai pasangan muda. Tiga seri ensiklopedi pun sudah menjadi koleksi Ridho pada saat dia masih duduk di kelas satu SD.

Untunglah ada hal-hal yang sangat disukainya. Buku, puzle dan lilin adalah tiga hal yang ampuh untuk membuatnya tetap tenang dan damai dalam dunia kecilnya.

Kamis, 26 Mei 2011

Berbagi Cerita (1)

Tidak terasa 18 tahun sudah mendampingi ∂aη menggawal perkembangannya. Aahh, betapa cepatnya waktu berlalu. Sepertinya baru kemarin menimangnya dalam buaian. Mengejarnya dalam kecerian ∂aη kenakalannya.

Penuh dada ini dengan rasa haru. Genangan air mata hampir tak kuasa terbendung, menyaksikan upacara pelepasan di SMAnya.


Terlintas berbagai cerita yang tidak akan pernah terlupakan.  Masih tergambar jelas, bagaimana aktif ∂aη energiknya anak sulungku ini dalam setiap aktifitasnya. Sistim motoriknya sangat kuat ∂aη hampir tidak terkendali. Emosinya begitu labil ∂aη meledak2.


Ridho, adalah gambaran masa kecilku dengan perbedaan gender. Aku dulu juga sangat aktif ∂aη tidak terkendali. Si bungsu yg sangat manja, emosional, ∂aη keras kepala. Ibuku selalu bilang, "Saatnya kamu membayar hutang untuk semua kenakalan masa kecilmu". Aku hanya tersenyum mendengar itu. Walaupun selalu setelah itu, aku akan berbisik lembut pada ibu,"Ikhlaskan semua kenakalan masa kecilku ya Bu..".


Tidak ada yang menyangka, bahwa aku yang sangat manja dan jauh dr kemandirian akan berani menikah pada usia yang sangat muda. Ternyata Allah telah menulis skenarionya dengan sangat indah. Dia menghadiahkanku, Ridho yang hiperaktif. Ridho yg tidak pernah berhenti bergerak. Ridho yang bisa marah-marah ∂aη mengamuk tanpa sebab yang jelas. Ridho yang begitu peka dengan kegelisahan orang sekitarnya, yang selalu diresponnya dengan berbagai tindakan yang tidak terkendali.


Saat masih bayi, Ridho selalu menangis menjelang magrib. Bukan tangisan biasa. Tangisan histeris diselingi dengan hentakan badannya yang membuat kita panik. Tapi kepanikan ∂aη kegelisahan kita tidak akan mengatasi masalah. Hanya orang yang benar-benar tenang yang dapat menenangkannya. Beruntunglah aku masih memiliki tetangga-tetangga yang peduli. Merekalah biasanya yg membantuku menenangkan ridho.


Tapi dari pengalaman itu aku belajar, bahwa hanya pelukan yang berasal dari hati yg damai, penuh kasih ∂aη terkendalilah yang bisa menenangkannya. Saat itu, semua itu masih jauh dr karakterku. Tapi demi Ridho, aku harus belajar dengan cepat, untuk bisa mengendalikan perasaan, untuk selalu damai ∂aη penuh kasih.


Bisakah anda bayangkan, ketika umurnya 3 tahun ∂aη aku membawanya jalan-jalan di salah satu mall..... Ridho memecahkan bunga kristal mahal yang tidak ingin kubeli. Kejadian itu, meskipun harus membatalkan semua rencanaku belanja  hari itu.   Semua uang belanja telah teralihkan untuk membayar bunga kristal.  kondisi inipun tidak boleh membuat aku marah. Andai saat itu aku marah, maka akan ada 2 atau 3 peristiwa lagi yang tidak menyenangkan dibelakang peristiwa itu. Itulah Ridho, dia adalah guruku dengan kelebihan ∂aη kekurangannya. Ridho telah mendidikku untuk selalu mengedepankan logika, nalar ∂aη analisa,, serta selalu mengkerdilkan kemarahan. Dia adalah anak dengan kebutuhan khusus yang mengharuskan kita menjadi orang tua yang bukan biasa. Yang harus dapat menerimanya dengan seikhlas-ikhlasnya, sedamai-damainya, ∂aη selalu penuh kasih.


Masih teringat jelas juga berbagai keaktifannya yang sering kali secara tidak sengaja menyakiti orang lain. Terutama terhadap adiknya, Alghi. Pernah suatu kali Ridho bermain di belakang gorden ∂aη  sengaja menabrak Alghi yang duduk tidak jauh dari situ. Alhasil, dua benjolan sebesar telur puyuh menghiasi jidat sang adik. Duuuuhh, luluh hatiku. Melihat anak manisku tersakiti. Saya peluk Alghi erat-erat dengan derai air mata yang tak terendung ∂aη berkata pada Ridho (saat itu berumur 7 th), "Nak, andai ada orang yang menyakitimu seperti ini,, maka mama.lah yang akan pertama kali maju untuk membelamu. Begitu juga jika ada yang menyakiti adikmu, maka mama lah tameng buat kalian berdua. Tapi taukah kamu, apa yang harus mama lakukan ketika, yang menyakiti adikmu adalah kamu ? Mama bingung sayang. Hati mama terbelah-belah". Aku terus menangis sambil memeluk Alghi ∂aη mengobatinya. Sepintas kulihat  Ridho memperhatikan kami. Aku yakin, walau masih sangat belia, Ridho telah belajar banyak dari peristiwa ini. ∂aη aku juga yakin, air mataku telah mengiris hatinya.


Terlepas dari segala kenakalannya, anak tetaplah anak. Bagi anak, orang tua adalah malaikatnya. Tidak ada yang lebih membanggakan bagi seorang anak kecuali membahagiakan orang tuanya. Dan aku selalu yakini itu.  Serta menjadikan itu sebagai senjata untuk mendidik anak-anak seperti yang kita inginkan. Karena aku tahu, impian seorang anak, adalah menjadi superhero untuk ibu ∂aη bapaknya.


Anak-anak adalah perhiasan hatiku. Tidak terasa sebentar lagi Ridho sudah menjadi mahasiswa. Selama 3 tahun selalu bersama dalam rumah, saya melihat Ridho tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan untuk memberikan pengabdian terbaik untuk Mama ∂aη Abinya. Hanya di awal tahun pertama ada riak-riak kecil, sebagai upaya penyesuaian dengan lingkungan di luar pesantren. Bagi Ridho, melayani kami orangtuanya adalah kesempatan yang tidak boleh disia-siakan. Subhanallah,,, Allah benar-benar menuliskan skenarionya dengan indah. Tidak ada lagi bayangan kenakalan ∂aη kepanikan mengamati perkembangannya. Sekarang, Ridho adalah sosok yang kuat, penuh semangat, ceria ∂aη menyenangkan. Dia telah membuktikan bahwa dia telah berhasil menjadi superhero untuk Mama ∂aη Abinya.


Ridho begitu suka memuji. Dia melakukannya dengan spontan. ∂aη dia selalu berhasil membuat kami bahagia. Hampir setiap pulang sekolah, dia akan meneriakkan salam ∂aη memanggilku. Kadang langsung bercerita atau hanya sekedar mencium tangan. Dia lebih banyak membawa pertanyaan daripada cerita. Terkadang diselingi dengan semangat yang meledak-ledak.  Aku terkadang  dibuat kewalahan dengan pertanyaan-pertanyaannya. Beberapa kali saya hubungkan dengan beberapa teman yang kompeten untuk menjawab pertanyaannya melalui telpon.


Suatu hari, sepulang ujian sekolah (UAS), Ridho menghampiriku ∂aη berkata, "Makasih ya mah, untuk selalu ada ketika aku pulang sekolah". Oooohh,, lunas sudah rasanya semua kelelahan ∂aη perjuangan dalam membesarkannya. Dan sejak itu aku semakin bangga untuk mengakui bahwa aku adalah "the full mother".


Terimakasih Nak. Kalian adalah keajaiban bagi Mama. Kalian adalah guru ∂aη inspirasi Mama. Karena kalianlah, hidup Mama sungguh berwarna ∂aη berarti.
I love you so much...

Sabtu, 19 Maret 2011

Rahasiaku...

Mungkin tidak ada yang mengira bahwa aku adalah penderita kelainan disleksia menulis, walaupun dalam taraf yang ringan. Kelainan ini sebenarnya sudah kusadari sejak masih duduk di kelas 1 Sekolah Dasar. Aku begitu susah membedakan huruf b dan p. Dan sangat kesulitan mengaplikasikan pemaikaian ng, ny dan nj.  Dan aku tidak tahu apakah ini berhubungan juga dengan kelemahanku dalam membedakan arah kanan dan kiri.

Aku tidak pernah sedikitpun mengganggap bahwa kelainan ini adalah sebuah kekurangan. Mungkin karena aku selalu dikelilingi oleh orang-orang yang mencintai dan menyayangiku dengan apa adanya. Dari kecil keluargaku hanya terfokus pada kelebihan yang kumiliki. Mereka selalu bangga, dengan kepandaianku bercerita dan mengarang cerita. Aku sangat gemar ikut lomba baca puisi dan pidato.

Aku baru tahu apa itu disleksia, beberapa tahun belakangan ini. Karena anak sulungku ternyata juga mengalami keadaan yang sama. Tanpa kekurangan pada disorientasi ruang.

Sisi positif dari kekurangan ini yang tampak nyata kurasakan adalah kami pejuang yang pantang menyerah dan tidak peduli dengan penilaian orang lain. Kami sadari sejak belia bahwa kami terlahir berbeda. Apa yang bagi orang lain sangat mudah untuk dikerjakan, bagi kami adalah perjuangan.

Sejak masih di bangku Sekolah Dasar saya sudah bersikeras untuk mempunyai buku harian. Aku menuliskan apapun yang ingin kutulis. Selain untuk berdialog dengan diri sendiri, itu adalah upaya kerasku untuk melatih kekurangan dalam mengenal huruf. Berbuku-buku penuh dengan tulisan, tapi aku tetap tidak bisa menyamai kemampuan orang lain secara umum. Tapi efek samping yang didapat hingga kini, pena dan buku adalah sahabat setiaku.

Aku tidak menyangka bahwa itu juga yang terjadi pada anak sulungku. Aku baru mengetahuinya belakangan ini, ketika dia mengeluhkannya secara langsung. Dan ternyata di lemari belajarnya telah terserak pula berlembar-lembar kertas yang dicoret-coret, untuk mengulang-ulang beberapa huruf. Ini adalah bentuk upaya kerasnya untuk dapat melawan kekurangan yang dia miliki.

Aku semakin terkagum-kagum dengan indahnya Allah mengatur keberagaman. Dalam kekurangannya anakku adalah anak hebat di bidangnya. Kekurangannya bukanlah hal yang penting dan patut dirisaukan. Dengan IQ 145 dia adalah penikmat mata pelajaran eksakta dengan kemampuan di atas rata-rata. Saya selalu berdoa semoga Allah selalu membimbingnya, menjadi insan yang berguna.

Malu ?? ... Tidak ada dalam kamus kami. Kami telah beradaptasi sempurna dengan rasa malu. Kami bukan orang lain. Kami adalah diri kami sendiri. Apa yang orang lain bisa, belum tentu kami bisa lakukan sebaik itu. Tapi kami pun akan menunjukkan bahwa apa yang bisa kami lakukan dengan baik, belum tentu dapat dilakukan dengan baik oleh orang lain.

Kekuranganku adalah hal lucu yang sering menghibur sahabat-sahabatku. Dan aku menikmati itu.
Kekurangan itu mendidikku dan anakku untuk berpikir berbeda.

Dan maaf.... kami bukanlah orang sensitif yang bisa tersakiti dengan kalimat-kalimat pedas dan penghinaan. Kami hampir tidak peduli dengan penilaian orang lain terhadap fisik dan kebendaan. Tapi kami adalah orang-orang yang sensitif terhadap perjuangan. Kami selalu menghargai perjuangan. Karena itulah yang selalu kami lakukan setiap hari. Maka..... bagi kami "kekurangan adalah kelebihan yang harus disyukuri"

Itulah yang selalu kutanamkan pada anak-anakku. Mereka adalah diri mereka sendiri. Tidak perlu mencari orang lain untuk menjadi tolok ukur. Karena kita diciptakan unik dan istimewa di mata Allah.

Salam,, Feb Amni

Jumat, 18 Februari 2011

PERANG BESAR

Usai perang badar nabi berpesan pada sahabat-sahabatnya. “Masih akan ada perang yang jauh lebih besar daripada perang ini”. Dan para sahabat bertanya “perang apa itu ya Rosul”. Nabi menjawab, “Perang melawan hawa napsu”.

Mengapa besar ? karena napsu adalah bayangan dalam diri kita sendiri. Napsu ketika dipergunakan dengan tuntunan yang benar, maka dia adalah perhiasan dan penyemangat dalam kehidupan. Tapi dalam geloranya, manusia dapat dilumpuhkan dan dibuat tidak berdaya oleh napsunya sendiri.

Saya punya cerita yang menarik yang berkaitan dengan ini. Ada seorang penguasa alim dan ajudannya sedang menyaksikan iring-iringan hasil rampasan perang. Dalam iring-iringan itu selain harta benda juga ada wanita-wanita dan budak yang dijadikan tawanan.

Penguasa itu sejenak terpikat dengan salah seorang wanita yang ada di dalam iringan. Ajudannya menangkap pandangan kekaguman yang terpancar dari mata bagindanya. Maka dia berkata,”Apakah menurut Baginda, wanita itu cantik”. 

 “Ya benar, jika engkau menyukainya, aku akan menikahkanmu dengannya besok” ujar penguasa itu.

“Bukankah baginda menyukainya?”.

“Betul, aku menyukainya......karena itu aku ingin bilang kepada napsuku bahwa aku menggalahkannya”.

Cerita itu sangat sederhana, tapi kalimat terakhir dari penguasa yang alim itu selalu memberi saya inspirasi bagaimana hidup damai dan saling menghargai bersama napsu. Ketika napsu hampir berhasil menggalahkan kita, maka saatnya kita berkata pada diri sendiri, “BETUL, AKU MENYUKAINYA......KARENA ITU AKU INGIN BILANG KEPADA NAPSUKU BAHWA AKU MENGGALAHKANNYA”.

Makanan napsu adalah diperturutkan. Dan dia akan melemah dengan pengendalian. Kalimat itu selalu bisa menjadi penyemangat untuk selalu menang melawan hawa napsu. 

Napsu pada hal mubah (boleh) saja jika diperturutkan secara berlebihan bisa menjadi haram. Apalagi jika napsu terhadap hal haram. Tidak ada pilihan bagi kita, kecuali .......mengalahkannya !!.

Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa jika kita masih suka melalukan yang haram, maka kita susah melalukan hal-hal yang wajib. Dan yang masih bergelimang dengan hal-hal yang subhat (ragu-ragu) maka berat baginya melaksanakan ibadah-ibadah sunah. Dan seseorang yang masih memperturutkan hal-hal mubah secara berlebihan maka dia berada diantara dua hal tersebut.

Karena itulah ketika seseorang bergelimang maksiat, maka akan sulit/berat baginya untuk melaksanakan ibadah-ibadah wajibnya. Begitu pula dengan seseorang yang masih merasa nyaman dengan tindakan-tindakan subhatnya maka sulit baginya untuk melaksanakan ibadah-ibadah sunahnya.

Mari tersenyum manis pada napsu yang sejatinya adalah diri kita sendiri. Dengan menggatakan kepadanya,”BERSAHABATLAH DENGANKU ATAU AKU AKAN MENGALAHKANMU DENGAN MEMATAHKANMU”.


salam,, Feb Amni

Rabu, 19 Januari 2011

Sisa Asa..

Tertatih aku menujumu
lemah aku dalam pengabaianmu
tak ada yang kuharap dalam rinduku
karena kutahu engkau bukan milikku

Tua aku bersama waktu
berjuta kata menjadi saksi bisu
pentingkan jujur pada hati
agar tak ada yang ternanti-nanti
agar tak ada yang tersakiti
karena bilangan tahun merindu
akan tetap sia-sia pada ujungnya

Tak ada lagi air mata, walau ngilu terasa
aku termangu, tak ingin berpikir
ahh, mungkin aku rapuh
entahlah

Namun,
andaipun akhirnya inginku meleleh
tak pernah kusesali rasa
dan pertemuanku denganmu
karena senyummu
telah mengalahkan keangkuhanku
pada akhirnya

Salam.. Feb Amni

Jumat, 14 Januari 2011

Rela..

Tak penting bagiku kau mengingatku sebagai apa
aku rela menjadi angin
yang sekedar lalu
untuk membuai lembut rambutmu

akupun rela menjadi rintik hujan gerimis
yang sempat kau maki
karena membasahi bajumu

Aku gubuk kecilmu di tengah sawah
yang rela kau singgahi dari terikmu
dan kau abaikan di musim penghujanmu

Aku rela menjadi ilalang
yang tetap tumbuh walau tak tersiram
yang bunganya tetap indah
walau luput dari pandangan

A k u
hal kecil yang tak penting
yang sederhanakan bahagiamu....

Minggu, 02 Januari 2011

Wanita

Untuk apa wanita memperkaya jiwanya,
Jika hanya karena raga dia berdaya.
Untuk apa wanita bertabur cinta,
Jika hanya karena raga pula dia didekati.
Untuk apa wanita mengasah otaknya,
Jika hanya karena raga dia dirindukan.

Tak adakah yg lebih mempesona dari ragawi wanita...
Tak pernah adakah yang ingin melihat, betapa indahnya jiwa yang terawat.
Tak adakah, yg memimpikan bertahta dalam keagungan cinta seorang wanita.

Ohh, betapa naifnya dunia memandang wanita.
Atau mungkin kami wanita, yang tidak menghargai diri sebagaimana mestinya.

Tidakkah ada yang tahu,
Jika dalam kelemahannya,
wanita bisa meluluhlantahkan dunia.

Tapi dalam kemulyaan
Kami adalah ibu dunia.