Rabu, 14 September 2011

Berbagi Cerita (2)

Nafas tersengal-sengal, tangan terkepal tegang, mata memerah dengan keringat yang mulai membasahi dahi dan bajunya. Tidak ada air mata, tidak juga kata-kata hanya badan mungilnya yang mulai memberontak kasar. Inilah yang selalu terjadi jika anakku mulai merasa kenyamanan dunia kecilnya terusik.
“Ada apa lagi ini ?”, pikirku. Baru 15 menit aku minggalkannya bermain di luar bersama-sama teman-temannya. Semua berjalan tenang dan damai 15 menit yang lalu. Belum juga selesai urusanku menyiapkan makan malam untuk abi yang hampir datang. Harus terpotong oleh kegaduhan yang mengharuskanku melonggok Ridho kecilku. “Ahh,, pasti ada korban lagi nih seperti biasa”, gunam hatiku. Tapi mau tak mau aku melangkah kembali keluar rumah.
“Mama Ridho..... itu Ridho marah-marah”, kata beberapa anak saling berlomba menggabarkan.
“Sama siapa ? “ tanyaku
“Sama Jamal”
“Kenapa ?”
Semua menggeleng serempak. Seperti biasa pula, tidak ada yang tahu apa yang menyebabkan kemarahannya.
“Sekarang Ridho mana ?”
“Nggejar Jamal ke arah sana” sahut mereka sambil menunjuk arah yang menjauhi rumah.

Ooh Tuhan,, apa yang bisa aku lakukan di tengah gelap seperti ini. Anakku menggejar-ngejar anak orang dalam marah. Tidak ada yang bisa menebak apa yang akan terjadi. Dalam kondisi marah seperti itu, anakku tidak hanya bisa membahayakan diri orang lain tapi juga dirinya sendiri.
“Ya Allah, selamatkan anakku. Lindungi mereka berdua. Tidak ada daya dan kekuatan pada diriku kecuali dengan kekuatanMU”
Kutarik nafas panjang berkali-kali. Kususun ketenangan berlipat-lipat. Kusiapkan kesabaran bergunung-gunung. Dan kupasang wajah teramah yang kupunya.
“Bismillah” ucapku dalam hati. Dan segera kuberlari menuju arah yang ditunjukkan tadi. Belum terlalu jauh rupanya. Jamal dan Ridho gaduh berkejar-kejaran menggelilingi rumah salah satu warga yang berjarak sekitar 300 m dari rumahku. Beruntung Jamal jauh lebih besar dibanding Ridho. Mereka terpaut 5 tahun. Ridho TK B, Jamal kelas 4 SD, sehingga Jamal mampu lari lebih cepat dan memilih tempat yang aman untuk menghindar.

Ketika aku sampai di rumah itu, tak kulihat lagi Jamal. Mungkin dia telah sembunyi di salah satu kamar. Hanya Ridho yang diam mematung tetap dengan nafas tersengal sengal dan gemeretak gigi yang beradu karena marah. “Bismilah”, batinku lagi dalam hati. Ini adalah satu-satunya mantra yang dapat mengeluarkanku dari sisi kemanusiawian, menuju ke sisi kearifan dan kesabaran yang lebih tinggi. Dalam situasi seperti ini, aku tidak boleh bersifat manusiawi. Manusiawi, jika tidak sabar. Manusiawi, jika terbawa emosi. Manusiawi, jika panik. Tidak boleh......aku harus menanggalkan semua sifat manusiawi itu demi anakku. Semuanya harus tetap terkontrol, tenang, damai dan penuh penerimaan.

Kudekati anakku perlahan. Dengan senyum termanis dan seikhlas-ikhlasnya. Kukembangkan kedua tangan bersiap untuk merengkuhnya dalam pelukanku. Kucoba meraih tangannya, tapi ditampisnya kasar. Aku berjongkok di depannya. Kutatap matanya lekat-lekat. Dan aku kembali tersenyum. Raut wajah beringasnya mulai mengendur. Sepertinya dia ingin membalas senyumanku. Berpuluh-puluh lantunan doa tetap kulafadzkan dalam hati. Kuraih dia dalam pelukanku berlahan-lahan. Sangat perlahan, karena aku takut mengagetkankannya. Oohh,, akhirnya anakku ada dalam pelukanku. “Terimaksih ya Tuhan”, gunamku dalam hati.

Kubacakan surah Al Fatihah dan kutiupkan ke wajahnya. Aku tidak tahu sebenarnya apa khasiatnya. Ibuku yang mengajarkannya. Dan aku menurut saja.
“Untuk menghilangkan pengaruh-pengaruh negatif (syetan) yang mungkin menempel”, itu katanya.
Entahlah, awalnya aku tidak percaya. Tetapi ketika kucoba, kulihat Ridho senang dengan terpaan hembusan nafasku yang semilir mengenai wajahnya. Dia selalu tersenyum setelah aku melakukan itu. Maka jadilah itu ritualku kalau aku merindukan senyumnya atau saat aku meredakan amarahnya. Bahkan pada saat akan tidur, Ridho suka menagihku untuk melakukan ritual itu kembali. Kami membaca Al Fatihah bersama-sama dan saling meniup wajah. Karena itu tidak mengherankan jika ridho sudah bisa menghafal beberapa surat pendek ketika dia masih berumur 4 tahun.

Itulah satu sisi yang selalu menghiburku. Di tengah kehiruk pikukannya, Ridho adalah anak yang cerdas. Keingintahuan dan kemauannya untuk memahami sesuatu, sangat tinggi. Karena itulah ibu-ibu di sekitarku, tidak lagi menghujatku seperti dulu. Menuduhku aku sebagai ibu yang tidak bisa mendidik dan mengendalikan anak dengan baik. Mereka lebih bisa memahami Ridho dalam sisi positif disamping sisi negatifnya. Mereka mulai lebih menerima anakku sebagai anak yang unik, bukan anak yang nakal.

Ibu-ibu di sekitar rumah lebih memilih cara aman yaitu menghindarkan anak-anaknya berinteraksi terlalu lama dengan anakku.
“Ayo masuk”, teriak beberapa ibu kepada anak-anak jika melihat Ridho mulai melangkah ke luar rumah. Karena itu, aku mencoba untuk membatasi waktu bermain anakku di luar. Kucoba untuk membangun istana kecilnya di rumah. Berbagai macam buku dan puzle yang menjadi kesukaannya kami sediakan. Permainannya adalah salah satu prioritas, walau dalam keterbatasan ekonomi kami saat itu sebagai pasangan muda. Tiga seri ensiklopedi pun sudah menjadi koleksi Ridho pada saat dia masih duduk di kelas satu SD.

Untunglah ada hal-hal yang sangat disukainya. Buku, puzle dan lilin adalah tiga hal yang ampuh untuk membuatnya tetap tenang dan damai dalam dunia kecilnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar