Rabu, 14 September 2011

Keranjang untuk Kakek..

Mungkin masih ingat cerita ini. Cerita tentang sepasang suami istri dengan seorang anak dan kakeknya yang sudah sangat tua renta. Karena kerentaannya Si Kakek sudah hampir tidak bisa melakukan kegiatan apa-apa. Bahkan semua keperluannya harus dicukupi oleh orang lain. Juga karena kerentaannya kadang-kadang Si Kakek malah menimbulkan kerepotan-kerepotan yang menyebalkan. Seperti buang air di celana atau terbatuk-batuk sampai muntah dan mengotori lantai atau tempat tidur. Karena kerepotan-kerepotan itu maka suami istri itu memutuskan untuk membuang Si Kakek ke hutan.

Segera dipersiapkanlah segala keperluan untuk kepindahan Sang Kakek ke hutan. Keranjang besar dari bambu, keperluan makan kira-kira untuk satu minggu, selimut, dan beberapa stel pakaian.

Keesokan harinya, diiring anak kecilnya yang membantu membawakan segala keperluan Si Kakek berjalan beriring di belakang bapaknya yang mengendong keranjang besar. Tidak ada kata-kata yang terucap. Mereka berdua diselimuti oleh perasaan yang tidak dapat dimengerti. Si Bapak yang tidak mau repot dan tidak ingin merepotkan istrinya, terpaksa dengan berat hati harus menyetujui usul istrinya untuk membuang Kakek ke hutan. Si Anak dengan kepolosannya mencoba menerka-nerka apa gerangan yang akan mereka lakukan di hutan. Dia hanya tidak berani bicara. Karena buat anak kecil itu, moment berjalan-jalan bersama Bapak dan Kakeknya adalah hal yang sangat langka. Dia khawatir jika banyak bertanya, maka bapaknya akan memintanya tinggal di rumah dan membatalkan acara jalan-jalan ini. sudah terbayang di benaknya, makan bersama di hutan dengan makanan dan alas tikar yang telah dipersiapkan ibunya dari kemarin. “Atau malah kami akan menginap di hutan,” batinnya. Karena dia melihat ibunya juga mempersiapkan selimut dan menyelipkan beberapa baju.

Sesampai di hutan, Si Bapak langsung menurunkan Kakek dan mengeluarkannya dari dalam keranjang. Dicarinya tempat yang kira-kira paling nyaman, dari semua pilihan yang tidak nyaman disekitar hutan. Tikar dan selimut digelar. Tidak ada kata-kata yang terucap, hanya bisikan lirih yang hampir tidak terdengar , “maafkan saya, Pak”.

Dia segera berlalu sambil megandeng tangan anak kecilnya. Si Anak kebingungan, tidak mengerti dengan semua yang dilihatnya. Kenapa tidak ada piknik, kenapa Kakek ditingalkan di hutan, kenapa harus buru-buru pulang. Tanpa memberi kesempatan si Anak untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan, dengan langkah yang terburu-buru diseretnya anak kecil itu tergesa. Belum sempat 200m, Si Anak yang terseok-seok mengikuti langkah Si Bapak, mendadak menghentikan langkahnya.
“Kenapa berhenti ?”, tanya bapaknya
“Kenapa Kakek ditinggal ?”
“Nanti Bapak jelaskan di rumah. Lebih baik kita keluar dulu dari hutan ini sebelum gelap”.
“Aku mau menemani Kakek. Nanti siapa yang menolong Kakek mengambilkan minum kalau Kakek ditinggal sendiri. Aku nggak maaaauu pulang !!!!!!!”.

Terpaksa Si Bapak menyurutkan langkahnya dan berjongkok mendekati anaknya. “Kita harus meninggalkan Kakek di hutan ini, karena Bapak dan Ibu sudah tidak mampu lagi mengurusi Kakekmu. Kakek sudah tidak ada gunanya lagi untuk keluarga kita, selain menambah kerepotan-kerepotan saja”.

Anak kecil yang masih lugu itu mencoba mengerti alasan yang diungkapkan bapaknya. Beberapa saat kemudian dia membalikkan badan dan berkata, “Kalau begitu keranjang itu jangan ditinggalkan. Harus kita bawa pulang. Agar kelak kalau Bapak sudah tua dan tidak berguna seperti Kakek, aku tidak perlu repot-repot lagi menganyam keranjang bambu untuk membuang Bapak ke hutan”.

Jegguuuarrrrrr......seperti ada sambaran petir yang tiba-tiba menerangi pikiran dan hati nurani Si Bapak. Terbayang olehnya bagaimana ketika dia tua renta, nanti akan dimasukkan dalam keranjang bambu yang sama dan dibuang di hutan dalam ketidak berdayaan sama persis seperti yang dia lakukan sekarang kepada Bapak kandungnya sendiri. Sontak dia membalikkan langkah kembali ke hutan dan membawa kembali bapaknya ke rumah. Merawat dan memenuhi keperluannya seperti bapaknya merawat dan memenuhi keperluaannya ketika dia masih bayi dan tidak berdaya.

Itulah hukum alam.....apa yang kita tanam sekarang itulah yang akan kita tuai esok. Apa yang kita kita contohkan pada anak-anak kita sekarang bagaimana cara memperlakukan dan menghormati orang tua kita, maka seperti itulah kelak kita akan diperlakukan oleh mereka. Jadi jangan pernah berhitung berapa banyak biaya yang kita keluarkan untuk sering-sering bersilaturahmi kepada orang tua, jika kita menginginkan kelak anak-anak juga akan rajin mengunjungi kita kelak....... hehe, ini juga oleh-oleh lebaran lho.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar