Tahukah anda bagaimana rasanya setiap kali mengantarkan
anak-anak kembali ke pesantren setelah
libur ? Hmmm…..seperti ada yang tercabut
dari hati dan jiwa ini. Tidak sakit,
tapi menyisakan haru yang membekas dan dalam.
Setiap kali menatap mereka berjalan meninggalkan kami di pelataran parkir,
ada setumpuk rasa yang tercampur menjadi
satu. Harapan, haru, rindu, sayang, iba,
salut, bangga, pengorbanan dan juga bertumpuk-tumpuk cinta.
Andai kami hanya
mementingkan rasa dan hati saja, maka kami akan memilih untuk tidak memasukkan
anak-anak ke pesantren. Ketika Si Bungsu bertanya “Kenapa aku harus masuk
pesantren?”. Saya hanya bisa menjawab, “Andai Mama seorang Hafiz, andai Mama atau Abi
adalah ahli Al Qur’an dan Hadist, tentu
kalian akan kami didik sendiri di rumah”.
Kami memutuskan untuk memasukkan anak-anak ke pesantren minimal di
strata SMP, karena kami sadar dengan keterbatasan kami di bidang ilmu
agama. Apa yang kami miliki tidak akan
cukup untuk membekali mereka agar tetap tangguh dan kuat pada eranya
nanti. Era dimana godaan dan tantangan
dunia ini semakin beragam dan dahsyat. Apa
yang bisa kami lakukan, berikan dan
bekalkan sangat terbatas sekali. Tidak akan
akan memadai untuk membentuk seorang anak menjadi anak yang tangguh, anak yang akan terpilih
menjadi “Pejuang Allah”. Tentu saja
bukan “Pejuang” dengan arti militan. Yang
kami inginkan adalah mengantarkan anak-anak menjadi generasi yang dengan ilmu pengetahuan dan apa yang bisa mereka lakukan
di kemudian hari akan sangat dicintai Allah.
Bagaimana dicintai Allah jika tidak paham dengan aturan Allah. Bagaimana dicintai Allah jika tidak secara
mendalam belajar tentang surat-surat cinta Allah dalam Al Qur’an Nurkarim.
Dengan memutuskan menitipkan anak-anak di pesantren, bukan berarti bahwa kami adalah
orang tua yang ingin melepas tanggung jawab pengasuhan. Bukan berarti bahwa kami adalah orang tua yang tidak ingin
direpotkan dengan masalah kenakalan anak-anak.
Sama sekali bukan. Ketika kami
melepas mereka. Ada serpihan hati yang juga terlepas. Ada hati kami yang juga kami titipkan. Dan selalu ada doa dan air air mata yang
mengiring setiap hembusan nafas ketika mereka berjuang menuntut ilmu.
Doa ketika seorang anak ada di depan mata akan sangat
berbeda dengan doa yang kita panjatkan ketika mereka jauh. Doa dalam keterpisahan, adalah doa yang khusuk dan
penuh permohonan. Doa yang datang dari
lubuk hati yang dirundung kerinduan yang teramat dalam. Inilah pengorbanan. Pengorbanan yang kami pilih sendiri, karena
kami yakin janji Allah adalah benar. Dan
dalam setiap doa, saya berkata pada Allah “Ya Allah, penguasa hatiku. Engkau yang mengetahui kerinduanku. Maka kuatkan hatiku untuk selalu istiqomah dan taat kepadaMu. Jangan jadikan pengorbanan ini sia-sia.
Jaga kami. Jaga niat kami. Jaga anak-anak kami. Tebuslah pengorbanan kami ini dengan
menjadikan anak-anak kami anak yang sholeh, anak yang berbakti, anak yang
cerdas dan berguna bagi nusa bangsa dan agamanya”. Aamiin.
Dan selalu…..doa itu menutup air mata yang mengalir.
Selalu ada hal yang menghibur hati. Senang dan kagum menatap betapa
bersemangat dan cerianya para santri ketika belajar membaca dan tadarus Al Qur’an. Dan sinar teduh yang terpancar dari wajah
para ustad selalu menenangkan hati. Dan perkembangan kemampuan Si Bungsu, adalah hadiah istimewa menakjubkan.
Anak bungsu kami, ketika masuk pesatren belum bisa membaca
Al Qur’an dengan lancar dan dengan tajwid yang benar. Belum genap sebulan setelah kami tingalkan di
pesantren, bulan Ramadhan tahun lalu dia sudah khatam 1,5 kali dalam 20 hari. Subhanallah.
Hal yang tidak mungkin saya atau Abinya lakukan. Malah dalam kondisi belum lancar membacapun,
anak saya sudah mendapat bimbingan langsung dari para Hafiz (penghafal Al Qur’an)
yang ada di pesantren itu.
Sekarang setelah hampir satu semester, sudah hampir 0,5 juz
yang sudah dihafalkannya. Kegiatan menghafal
ini bukan menjadi kegiatan inti, karena dilakukan di luar jam sekolah. Tapi yang mengagumkan anak-anak santri selalu
bersemangat dan antusias dalam menjalankannya.
Malah Si Bungsu berkata, “Aku menyesal deh Ma. Seandainya dulu waktu SD kelas 6 sudah disiplin menghafal Al Qur’an
setiap malam, pasti aku sekarang sudah hafal satu juz”. Subhanallah,
ada rasa haru dan bangga mendengarnya.
Apalagi ketika ingat, begitu
sulit mengkondisikannya untuk tetap semangat dan konsentrasi ketika belajar Al
Qur’an di rumah.
Kejutan berikutnya adalah di semester satu ini, Si Bungsu saya dapat rangking satu. Sesuatu yang sangat luar biasa karena selama
6 tahun duduk di bangku SD, anak saya hanya satu kali masuk 10 besar, sisanya
selalu mendapat rangking diatas 20 dari 30 siswa kelas. Haru dan bangga yang dibalut dengan sayang dan
rindu. Duuuh…. rasanya tak ingin
berlama-lama jauh darinya. Buah hatiku…. Karena itu saya selalu bilang pada mereka, “Keterpisahan
ini, bukan hanya pengorbananmu. Tapi juga
pengorbanan kami sebagai orang tua. Mari
kita hiasi dengan doa dan semangat untuk menjadi lebih baik. Dan jangan jadikan waktu dalam keterpisahan
ini menjadi suatu yang sia-sia”.
Tapi selalu ada momen yang menguatkan hati. Seperti sore kemarin ketika mengantar Si Bungsu kembali ke pesantrennya. Sebelum
sampai, kami sempatkan mampir di salah
satu mini market terdekat untuk belanja segala keperluannya. Saya dan si bungsu terpisah lorong. Tiba-tiba terdengar ada suara pria yang
menyapa anak saya, “Assalamualaikum sayang, anak soleh, anak bapak, kok ada
disini ?”. Sapaan ramah yang sungguh
penuh dengan rasa sayang. Walaupun saya
tahu, pria yang kemudian saya ketahui sebagai salah satu ustad itu, terkejut karena anak saya
berada di luar pesantren sendirian dan bukan pada hari libur. Kebetulan anak saya hari minggu kemarin
mendapat ijin untuk menghadiri pernikahan tantenya di Cilegon.
“Waalaikum salam ustad.
Habis pulang ada kawinan Tante”, jawab anak saya dengan mencium tangan Si
Ustad dengan takjim. Dan Si Ustad membalas
dengan mengelus kepala anak saya sambil membaca syalawat. Pemandangan yang mengharukan sekaligus
menguatkan hati saya.
“Oooo,, mana mama abinya ?”.
“Itu”, jawab anak saya sambil menunjuk kami yang berjalan
mendekat dan memperkenalkan diri.
Hari ini kami semakin yakin. Insyaallah kami tidak salah
memilih orang tua pengganti baginya selama jauh dari kami. Dan semoga Allah memberkahi pengorbanan ini. Semoga Allah menjaga niat mulia
para Usatd dan dewan guru yang mendidik anak-anak saya dan anak-anak Indonesia pada
umumnya. Semoga amal dan bakti mereka
kepada bangsa dan agama ini diterima oleh Allah sebagai amal ibadah yang kelak
akan menjadi amal jariah dan penolong di hari akhir.
“Ya Allah kami mohon cinta-Mu, cinta orang-orang yang
mencintai-Mu dan cinta kepada segala yang akan mendekatkan kami kepada cinta-Mu”