Sedih ……ketika melihat perempuan-perempuan yang
terlibat kasus kejahatan besar, tiba-tiba tampil di depan umum dengan
menggunakan kerudung atau jilbab. Tidak tahu
motivasi mereka apa, dalam memakainya. Mulai dari
kerundung yang hanya di diletakkan sekedarnya di kepala, sampai dengan kurudung
panjang rapat plus cadar pula. Seolah-olah
mereka berlindung dari balik kerudung yang dikenakan. Tiba-tiba merasa lebih benar. Tiba-tiba mendadak menjadi lebih
sholehah. Tiba-tiba mendapat menyimbulan
baru sebagai wanita yang lugu dan bebas dari segala pelanggaran peraturan. Aaah, entahlah. Tapi bagi kami, perempuan-perempuan
berkerudung yang bukan tiba-tiba, hal ini sungguh menyakitkan.
Jadi teringat ketika tahun 1988, pada saat saya dan beberapa
teman memutuskan untuk berkerudung/berjilbab.
Bukan keputusan yang mudah. Karena
pada saat itu memakai kerudung adalah suatu yang masih sangat langka. Berbagai issue negatif dihembuskan untuk
meminimalisir keberanian perempuan memakai kerudung. Di berbagai media tersiar berita ada maling
yang sengaja menyamar sebagai perempuan berkerudung. Dia menjadi
bulan-bulanan masa kerena
tertangkap tangan sedang menjalankan aksinya mencuri di pasar. Ada juga issue, bahwa di Bandung ada
perempuan berkerudung yang mendapat julukan “mawar hitam” yang berprofesi
sebagai pelacur. Mereka yang
berkerudung dianggap sebagai orang yang menyembunyikan identitas di balik
kerudungnya. Bukan orang yang terbuka
dan bukan orang yang moderat.
Mereka yang berkerudung harus selalu dicurigai mempunyai
maksud tersembunyi di balik kerudungnya.
Doktrin itu masuk tidak hanya di kalangan orang dewasa. Anak kecilpun mengerti bahwa mereka harus
mengambil jarak dengan orang-orang yang berkerudung. Pernah suatu kali ketika kami berada di
supermarket, seorang anak kecil bertanya pada ibunya. “Ma, kenapa mbak-mbak itu bajunya begitu ?. beda sama kita”.
Dan dengan tanpa berfikir dan merasa bersalah, si Ibu menjawab enteng “Itu Ninja
sayang, jangan deket-deket”.
Haaaaa,,,, mestinya kami
marah. Tapi yang kami lakukan adalah memaklumi. Memaklumi bahwa yang terjadi saat itu adalah
salah satu konseksuensi dalam memakai
kerudung. Kami hanya bergunam dalam hati
“Terimalah kesabaran ini, sebagai ibadah”.
Duuuh, jika ingat saat-saat itu selalu muncul keharuan yang teramat
sangat. Terharu karena dulu kami pernah
begitu sayang sama Allah. Semoga Allah
melestarikan rasa itu, walaupun saat ini berkerudung tidak lagi sesulit masa
itu. Tidak perlu rajin sholat untuk berani pakai
kerudung. Malah tidak perlu beragama
untuk boleh memakai kerudung. Tetapi ada
yang hilang dari “ghiroh” berkerudung. Ada
yang hilang, nilai kesakralan berkerudung. Tapi apapun itu, syukur yang tidak
terhingga ketika berkerudung pun menjadi tren, dan mengenakan kerudungpun sudah semudah memakai busana apapun.
Padahal dulu, di tahun 80 an, ada larangan “Tidak boleh
memakai kerudung/jilbab di sekolah”. Pemerintah
khawatir seandainya pemakaian kerudung diijinkan di sekolah, maka semua agama akan meminta ijin untuk memakai
simbul agama mereka masing-masing. Di beberapa Koran muncul opini “Bisa saja
nanti orang-orang Hindu akan minta diijinkan memakai tutup kepala dan baju adat
seperti yang mereka pakai di Bali. Atau
orang Budha yang berhak memakai hanya
selembar kain kuning sebagai pengganti baju”.
Berbagai macam alasan dibuat yang intinya menguatkan argumen bahwa
berkerudung mengancam kesatuan dan persatuan bangsa. Hmmm,, sebagai anak remaja saya tidak paham
benar tentang peraturan itu. Saya hanya
tahu bahwa peraturan itu harus ditaati kalau tidak mau repot. Saya juga tidak berani untuk melawan arus walaupun di dalam hati
sudah ada niat yang kuat untuk memakai kerudung/jilbab sejak baliq. Tapi apa daya, saya merasa tidak cukup kuat
untuk bertentangan dengan peraturan sekolah. Beberapa
teman yang maqom pemahaman agamanya lebih baik, mensiasati peraturan itu,
dengan tetap memakai jilbab sampai ke sekolah dan melepaskannya ketika memasuki
gerbang sekolah. Duuuh, terbayang betapa tersiksanya menghadapi dilema
antara kata hati dan menentang peraturan.
Saya kagum pada mereka, perempuan-perempuan belia yang hebat karena
berani membela Allah pada saat kondisi
dan lingkungan tidak mendukung.
Ketika sudah memasuki
bangku kuliah, saya memutuskan untuk memakai kerudung/jilbab secara
istiqomah. Tidak sesegera setelah masuk kuliah.
Masih butuh waktu hampir 4 bulan untuk menetapkan niat. Diskusi dengan berbagai kalangan dan istiqoroh
pun dilakukan. Tidak semua pihak
mendukung tekad saya. Malah seorang
sahabat dengan terang-terangan
mengatakan “Nanti kalau sudah kuliah jangan pakai kerudung ya”. Bimbang…..
ketika memutuskan untuk memakai kerudung. Saya harus menyiapkan diri dengan
berbagai konsekwensinya. Termasuk konsekuensi bahwa lapangan pekerjaan dan jodoh saya
menjadi lebih sempit karena berkerudung.
Jangan bayangkan bahwa pada saat itu perempuan berkerudung bisa diterima
eksis seperti sekarang ini. Berbagai lapangan
kerja dan instansi memasang plat 'perboden' untuk perempuan-perempuan
berkerudung. Masyarakat masih
menganggap bahwa kerudung adalah lambang kefanatikan. Dan menerima mereka sebagai pegawai dapat
menimbulkan pandangan negatif terhadap perusahaan. Perusahaan akan dicap tidak modern dan mentoleransi
kefanatikan.
Tidak hanya perusahaan, para orang tua pun juga banyak yang mempunyai pandangan yang sama. Ada seorang teman yang harus rela patah hati, gara-gara calon mertua tidak ingin punya
menantu yang berkerudung. Kondisi saat itu, tidak seperti
sekarang. Sekarang, sebagian besar calon mertua malah mengharapkan calon mantunya adalah
perempuan-perempuan berkerudung. Kerudung menjadi lambang keshalehan dan keluguan. Walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa banyak perempuan yang berkerudung saat ini bukan karena alasan syar'i.
Ada hikmah terbaik yang saya dapat dari menyadari
konsekuensi berkerudung pada saat itu. Daripada ditolak ketika melamar kerja
gara-gara pakai kerudung, maka saya
bertekad bisa menciptakan lapangan kerja sendiri. Saya tidak mau tergantung pada orang lain. Cukup Allah bagiku. Dan saya berkata Allah, “Terimalah aku
menjadi simbul agamamu”. Maka…..Bagi kami
itu adalah berjihad. Karena kami
menyadari bahwa apapun yang akan kami lakukan, baik dan buruk akan
disangkutpautkan dengan Islam hanya karena berkerudung.
Jadi terbayang kan bagaimana rasanya ketika kami menyaksikan
mereka yang didakwa melakukan tindak kejahatan, baik itu korupsi, penipuan
sampai dengan pembunuhan berlindung pada kerudung. Yang bagi kami ketika akan memakainya,
membutuhkan begitu banyak kekuatan, begitu banyak air mata dan begitu banyak
perjuangan. Akhirnya kami hanya
menyadari, bahwa sampai saat ini pun perjuangan itu belum berakhir. Kami harus bisa dibedakan dari mereka yang hanya
berlindung di balik kerudung. Kami harus punya hati yang lebih baik, lebih
tulus, lebih ikhlas dan lebih murni. Kami
harus punya manfaat yang lebih baik bagi masyaraklat, bagi keluarga dan juga
diri sendiri. Kami harus lebih kuat…..kuat
membela yang benar, bertahan untuk benar dan setia pada kebenaran. Semoga Allah selalu menyinari kami dengan
sinarNya, sehingga yang benar akan tampak sebagai kebenaran dan yang bathil akan nyata sebagai kebatilan. Dan Dia yang Maha perkasa berkenan
menganugrahkan kekuatanNya untuk menjaga kami agar selalu melakukan yang benar
dan menghindari yang batil……..aamiin