Selasa, 02 Maret 2010

Jadikan seluas Danau

Saya jadi teringat dengan cerita tentang guru sufi dan muridnya. Sang murid kelihatan selalu gelisah, dan murung. Dan ketika ditanya oleh gurunya, dia menjawab bahwa masalah dalam hidupnya datang seperti tak ada habisnya. Sang Guru terkekeh. "Nak, ambil segelas air dan dua genggam garam. Bawalah kemari. Biar kuperbaiki suasana hatimu itu." Si murid pun beranjak pelan tanpa semangat. Ia laksanakan permintaan gurunya itu, lalu kembali lagi membawa gelas dan garam sebagaimana yang diminta.
"Coba ambil segenggam garam, dan masukkan ke segelas air itu," kata Sang Guru. "Setelah itu coba kau minum airnya sedikit."
Si murid pun melakukannya. Wajahnya kini meringis karena meminum air asin.
"Bagaimana rasanya?" tanya Sang Guru.
"Asin, dan perutku jadi mual," jawab si murid dengan wajah yang masih meringis.
Sang Guru terkekeh-kekeh melihat wajah muridnya yang meringis keasinan.
"Sekarang kau ikut aku." Sang Guru membawa muridnya ke danau di dekat tempat mereka. "Ambil garam yang tersisa, dan tebarkan ke danau." Si murid menebarkan segenggam garam yang tersisa ke danau, tanpa bicara.
"Sekarang, coba kau minum air danau itu," kata Sang Guru. Si murid menangkupkan kedua tangannya, mengambil air danau, dan membawanya ke mulutnya lalu meneguknya. Seketika air danau yang dingin dan segar mengalir di tenggorokannya.
Sang Guru bertanya kepadanya, "Bagaimana rasanya?"
"Segar, segar sekali," kata si murid sambil mengelap bibirnya dengan punggung tangannya. "Terasakah rasa garam yang kau tebarkan tadi?".
"Tidak sama sekali," kata si murid sambil mengambil air dan meminumnya lagi.
Sang Guru hanya tersenyum memperhatikannya, membiarkan muridnya itu meminum air danau sampai puas.
"Nak," kata Sang Guru setelah muridnya selesai minum. "Segala masalah dalam hidup itu seperti segenggam garam. Tidak kurang, tidak lebih. Hanya segenggam garam. Banyaknya masalah dan penderitaan yang harus kau alami sepanjang kehidupanmu itu sudah dikadar oleh Allah, sesuai untuk dirimu. Jumlahnya tetap, segitu-segitu saja, tidak berkurang dan tidak bertambah.
Si murid terdiam, mendengarkan. " Tapi Nak, rasa `asin' dari penderitaan yang dialami itu sangat tergantung dari besarnya 'qalbu'(hati) yang menampungnya. ... Jadi Nak, supaya tidak merasa menderita, berhentilah jadi gelas. ... Jadikan qalbu dalam dadamu itu jadi sebesar danau."

Senin, 01 Maret 2010

Sejatinya Cinta...

Masih tentang jalan cinta, dengan nuansa cinta yang berbeda. Mabuk cintanya Zulaiha kepada budak suaminya, Yusuf. Cerita cinta yang sangat mengemparkan dan mengetarkan dunia. Sehingga Allah khusus menuliskan cerita cinta ini dalam Al Karim yang mulia. Cerita cinta yang penuh dilematik dan mengharu biru. Tanpa menuliskan detail ceritanya, saya yakin cerita ini telah melekat dalam hampir semua benak insan. Terutama pada benak-benak insan yang pernah merasakan bahwa cinta tak selamanya dapat diarahkan ke tempat yang benar dan tepat.

Tapi mungkin banyak yang belum menyimak betul ending dari kisah cinta ini. Pada saat Yusuf sudah menjadi orang yang berkuasa, ia mendatangi janda Zulaiha. Dengan hormat dan lemah lembut Yusuf berkata. " Aku tidak dapat mencintaimu saat kau masih menikah, dan aku adalah budak suamimu. Namun kini aku bebas untuk menikahimu, dan aku akan melakukannya dengan suka hati karena cintamu kepadaku." Dengan mata berkaca-kaca, Zulaika menjawab, "Tidak Yusuf, cintaku kepadamu adalah tabir. Aku telah lama mencintai Sang Kekasih secara langsung. Aku tidak lagi membutuhkan apa pun dan siapapun di dunia ini, kecuali Allah"

Cintanya pada Yusuf hanyanya tabir, yang harus disingkapnya sendiri untuk menemukan cinta sejatinya, yaitu Cinta pada Illahnya. Begitulah cinta menemukan jalannya. Tak ada yang tahu kemana dia akan mengarahkan mata panahnya. Setiap hati dipenuhi cinta. Dan setiap cinta mempunyai pancaran. Cinta sejati memberikan kehangatan tidak hanya pada tempat bersemayamnya cinta, tapi juga pada siapa saja yang dilaluinya.



Kedahsyatan rasa yang ditimbulkan oleh cinta dapat mengelabuhi sang pencinta. Rasa tergila-gila yang muncul pada awal jatuh cinta disebabkan oleh aktivasi dan pengeluaran komponen kimia spesifik di otak, berupa hormon dopamin, endorfin, feromon, oxytocin, neuropinephrine yang membuat seseorang merasa bahagia, berbunga-bunga dan berseri-seri. Tetapi menurut riset, rasa menggebu-gebu itu tidak akan bertahan lebih dari 4 tahun. Seiring berjalannya waktu, terpaan badai tanggung jawab dan dinamika kehidupan efek hormon-hormon itu akan berkurang dan menghilang.

Bayangkan betapa malangnya, cinta yang hanya didasari oleh sifat-sifat manusiawi. Sepasang sejoli yang saling menggagumi karena kerupawanan fisik masing-masing, akankah tetap dapat mempertahankan kekaguman fisik itu sampai 15 – 20 tahun usia pernikahan mereka. Apalagi yang mencintai seseorang hanya karena harta, jabatan dan kemasyhuran akan sangat melelahkan dalam perjalanan cintanya.



Cinta manusiawi mendasari cintanya pada tuntutan, harapan dan keinginan. Karena itulah dalam belenggu cinta manusiawi kita selalu perlu merasa untuk menanyakan pada pasangan kita “apakah kamu masih mencintaiku?”. Pertanyaan itu harus terus diulang-ulang. Karena bisa saja, saat ini dia ada dalam pelukan, tapi satu jam yang akan datang, satu bulan atau satu tahun lagi masihkah dia seperti itu. Siapa yang bisa menjamin perasaan cintanya akan bertahan untuk jangka waktu tertentu. Dia hanya manusia yang lemah. Dia bahkan bukanlah bukan penguasa atas hatinya sendiri. Tak ada yang bisa menjamin kesucian hati dan perasaannya kecuali penciptanya.



Jadi menggantungkan cinta dan harapan kepada sesama manusia adalah sama dengan menggantungkan diri pada dahan yang lapuk. Tak ada perasaan aman. Setiap saat kita dilanda kekhawatiran, bahwa hatinya akan berpaling, cintanya akan memudar, perhatiannya teralihkan, ada orang lain yang lebih dicintainya dan lain-lain. Andai itu yang kita rasakan saat ini. Maka inilah saatnya untuk merubah rasa. Cinta manusiawi bukanlah cinta sejati. Cinta manusiawi adalah kebutuhan. Kita tetap membutuhkannya untuk menghiasi hidup, tapi bukan sebagai tempat bergantung. Cinta sejati adalah cinta yang mengarahkan pandangannya lurus kepada Illahnya.



Untuk menggambarkan kedahsayatan cinta ini, ada sebuah kisah cinta yang mengharu biru. Kisah cinta antara Abdurrahman bin Abi Bakar dengan Laila bintu Al Judi. Sejak pertemuan dengan Laila dalam perjalannya menuju ke Syam, abdurrahman tidak dapat lagi melepaskan bayangan Lalila dari pikirannya. Dia merangkai banyak syair untuk menggambarkan kerinduannya.



Aku senantiasa teringat Laila yang berada di seberang negeri Samawah
Duhai, apa urusan Laila bintu Al Judi dengan diriku?
Hatiku senantiasa diselimuti oleh bayang-bayang sang wanita
Paras wajahnya slalu membayangi mataku dan menghuni batinku.
Duhai, kapankah aku dapat berjumpa dengannya,
Semoga bersama kafilah haji, ia datang dan akupun bertemu.

Khalifah Umar bin Al Khattab sampai iba melihat kondisi abdurrahman. Maka ketika terjadi penyerangan ke wilayah Syam, beliau berpesan agar membawa Lalila sebagai tawanan dan menyerahkannya kepada Abdurrahman.


Anda bisa bayangkan, betapa girangnya Abdurrahman, pucuk cinta ulam tiba, impiannya benar-benar kesampaian. Begitu cintanya Abdurrahman radhiallahu 'anhu kepada Laila, sampai-sampai ia melupakan istri-istrinya yang lain. Merasa tidak mendapatkan perlakuan yang sewajarnya, maka istri-istrinya yang lainpun mengadukan perilaku Abdurrahman kepada 'Aisyah istri Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang merupakan saudari kandungnya.

Menyikapi teguran saudarinya, Abdurrahman berkata: "Tidakkah engkau saksikan betapa indah giginya, yang bagaikan biji delima?"

Akan tetapi tidak begitu lama Laila mengobati asmara Abdurrahman, ia ditimpa penyakit yang menyebabkan bibirnya "memble" (jatuh, sehingga giginya selalu nampak). Sejak itulah, cinta Abdurrahman luntur dan bahkan sirna. Bila dahulu ia sampai melupakan istri-istrinya yang lain, maka sekarang iapun bersikap ekstrim. Abdurrahman tidak lagi sudi memandang Laila dan selalu bersikap kasar kepadanya. Tak kuasa menerima perlakuan ini, Lailapun mengadukan sikap suaminya ini kepada 'Aisyah radhiallahu 'anha. Mendapat pengaduan Laila ini, maka 'Aisyahpun segera menegur saudaranya dengan berkata:

"Wahai Abdurrahman, dahulu engkau mencintai Laila dan berlebihan dalam mencintainya. Sekarang engkau membencinya dan berlebihan dalam membencinya. Sekarang, hendaknya engkau pilih: Engkau berlaku adil kepadanya atau engkau mengembalikannya kepada keluarganya. Karena didesak oleh saudarinya demikian, maka akhirnya Abdurrahmanpun memulangkan Laila kepada keluarganya.



Betapa pahitnya nasib yang dialami oleh Laila bintu Al Judi. Kemana perginya cinta yang menggebu-gebu dari Abdurrahman bin Abi Bakar. Hanya Allah yang tahu. Kita hanya bisa memetik hikmah dari kisah ini. Ternyata sebesar apapun cinta manusia kepada manusia..... jika Allah menghendaki, maka cinta itu akan pupus dalam waktu dan cara yang hanya Allah yang tahu.

Semoga kita juga akan menemukan jalan cinta untuk menuju muaranya, Cinta Ilahiyah.