Rabu, 14 September 2011

Abahku Keren Sekali..

Satu lagi yang selalu kurindukan setiap pulang ke malang adalah kegiatan mengantar Abah jalan-jalan sekalian belanja sayur dan buah di pasar tradisional. Sejak kecil imut-imut sampe hampir tua amit-amit gini rasa yang ditimbulkan dari kegiatan ini tetap sama, senang, bahagia dan riang. Keriangan yang tidak bisa digambarkan dengan warna-warni buah-buahan yang dipajang hampir di seluruh selasar pasar yang bau apeknya juga tetap sama dari dulu hingga kini. Keriangan yang tak mempan dihapus oleh bau kotoran kuda dan bau menyengat selokan mampet. Aaahh,,, tidak ada yang bisa mengalahkan indahnya menikmati hangatnya gandengan tangan Abah yang tetap kekar pada usianya yang sudah memasuki 72 tahun.

Sejak memasuki gerbangnya yang penuh sesak, Abah sudah menebar senyumnya ke sebagian besar pedagang yang mungkin memang dikenalnya atau memang Abah sengaja meniatkan untuk menebar sedekah senyumnya....hehe. Tapi senyum Abah memang manis dan tulus kok. Makanya tidak heran jika senyumnya laku, dan selalu dapat imbalan yang setimpal berupa senyum manis pula dari Si Mbokde, Si Paklik, Si Mas dan juga Mbakyu-Mbakyu para pedagang. Malah beberapa yang tidak kebagian senyum juga ikut-ikutan caper (cari perhatian) dengan berteriak-teriak menyuruh kami mampir.
“Sini pakne, mangganya masak pohon niko”
“Pak Haji mampir sini,,,, pecelnya baru mateng”
“Niki terong’ipun pakde, masak pohon juga lho”...... Halah,, ini kok semuanya jadi pada over acting. Terongpun dibilang masak pohon. Ya pasti udah alot dan nggak bisa dimakan tuh, kalau terong dibiarin masak di pohon....wkwkwwk.
Lhooo....apa malah aku yo yang keGRan karena jarang masuk pasar tradional. Lha maklum tho, biasanya kalau masuk supermarket cuma dicuekin aja sama SPG-SPGnya .... Hehe, jadi merasa tenar nih.
Aku juga suka melihat simbok-simbok tua yang berjualan di pasar ini. semuanya tampak bahagia. Semuanya tampak menikmati apa yang sedang mereka kerjakan. Mereka melayani pembeli sambil diselingi obrolan-obrolan ringan dan candaan yang mengelitik. Walau ada beberapa yang kelihatan jutek, tapi di mata teman-temannya sesama simbok pedagang, dia tetap manusia yang lucu yang layak untuk ditertawakan. Jadi alhasil, keputusannya untuk jutek jadi sia-sia deh disapu kelakar dan guyonan teman-temannya.

Abah mulai memilih-milih sayur dan buah apa yang tampak menggugah seleranya.
“Abah mau beli timun”, kata abah sambil menghampiri salah satu simbok yang senyumnya paling lebar.
“Mbok, pinten timun’e sekilo ?”
Simbok yang ditanya terkekeh sambil memegang perutnya dan memukul-mukul pahanya yang ramping. Beneran langsing lho. Hampir semua simbok-simbok pedagang di pasar ini langsing-langsing. Mungkin selain karena keterbatasan jumlah asupan yang dimakan, mereka juga doyan banget minum jamu. Udah gitu perutnya juga dibebet rapi pakai stagen yang panjangnya 10-20 m. Byuuuh, gimana gak langsing lha wong memang perut sebagai wadah penampungnya dikempesin gitu. Tapi sungguh salut, mereka buta huruf tapi sudah mendarah daging mengamalkan sunah rasul untuk “berhenti makan sebelum kenyang”.
“lhooo, wonten nopo mbok ?” kata Abah dengan wajah terheran-heran.
Simbok itu tetap saja terkekeh, memamerkan sederetan gigi yang memerah karena ‘nginang’.
“Niiiiku......te RONG”
“Haaaaaaaaaa.....” Abah spontan melolot dan mencomot buah yang dari tadi dipikirnya timun itu. “Hehehe......terong tho. Maklum nih mbok matane wong tuwek”, Abah mencoba menjelaskan sambil mencoba membetulkan posisi kacamatanya.
“Mboten nopo-nopo Pak Kaji, sami-sami sepuh’e”.
“Jadi ini berapa Mbok sekilo ?”
“Tiga ribu mawon Pak”
“Yo wis, tumbas dua kilo ya Mbok”.
Simbok pedagang itu sibuk memilihkan timum-timun yang paling montok dan ranum. Beda banget ya dengan kalau kita belanja di kota besar. Ketika kita mencoba untuk memilih buah yang baik-baik,mereka malah mencoba untuk memasukkan buah-buah dengan mutu yang jelek. Walaupun tidak semua begitu, tapi menemukan pedangan yang baik hati, jujur dan ikhlas di kota besar, sudah seperti menemukan jarum dalam tumpukan jerami.
“Ini timunnya dua kilo dan ini imbuhnya ya, Nduk”
“Matur nuwun ya Mbah”.
Wiiii, asyik dapet imbuh. Padahal kami belum sempet minta lho. Tetep seneng dan girang, setiap dapet bonus seperti ini. Walaupun cuma berupa dua buah timun yang ukurannya paling mungil.
“Itu sedekahnya pedagang”, kata Abah.
“Hebat ya Bah, padahal mencukupkan timbangan saja sudah berpahala, apalagi kalau melebihkannya ya”.
“Kalau mereka mencukupkan timbangan,mereka dapat pahala jual beli dengan cara yang benar. Tapi kalau mereka memberikan tambahan pada timbangannya, mereka mendapat pahala sedekah. Orang seperti mereka kan nggak banyak punya kesempatan untuk bersedekah. Makanya mereka mengambil momentum berdagang untuk menuai pahala sedekah”.

Subhanallah..... dalam keterbatasan, masih cerdas mencari peluang untuk menabung amal. Bukan hanya pada orang yang lebih membutuhkan, tapi juga pada kami yang notabene punya cukup uang kalau hanya sekedar membeli satu-atau dua karung timun. Tapi tidak dapat disangkal, dua timun imbuhan itu mampu membuat kami girang dan senang. Dan aku yakin pahala Simbok itu menghadiahi kami kegirangan ini pasti tidak kalah besar dengan pahala seorang jutawan yang mengadakan buka puasa dan sahur bersama untuk 1000 anak yatim dan anak-anak jalanan.
“Karena itu kamu sebagai pedagang yang jauh lebih besar dan lebih pinter dari simbok pedagang timun itu, mestinya harus punya lebih banyak cara untuk menuai pahala dari perdagangan. Itu ladangmu, tanamnya sebanyak-banyaknya untuk akheratmu. Karena sesungguhnya kekayaan kita itu hanyalah apa yang habis kita makan, apa yang kita pakai, dan apa yang telah kita amalkan. Selebihnya belum bisa disebut kekayaan karena itu hanya titipan Allah, yang kebetulan diamatkan ke kamu dan keluargamu”.

“Iya Abah, insyaallah,” jawabku singkat dengan tetap menggegam tangan Abahku erat-erat. “Kita beli buah dan sayur lagi yuuk Bah, supaya bisa memberi mereka kesempatan bersedekah dengan imbuh-imbuhannya. Dan kita dapat kesempatan juga bersedekah senyum termanis pada mereka. Kali aja di pasar yang butek ini, memang senyum kita yang paling manis Bah, makanya dapet imbuhan terus”. Hehe, ayooo senyum lagi Bah, biar Abahku yang sudah sepuh tapi paling keren ini, nggak pernah kehilangan semangat bersedekah lewat senyum manisnya. Indahnya silaturahmi, indahnya bersedekah..... Pasar Dinoyo, I’ll always miss u......

Tidak ada komentar:

Posting Komentar