Sebelum Lebaran Haji kemarin, saya dan abah sempat berdialog
dengan seorang tukang sayur yang menyerahkan seekor kambing untuk “korban” di
mesjid dekat rumah kami. Kata abah
beliau ini setiap tahun selalu “berkorban”.
Walaupun pekerjaannya cuma tukang sayur kecil yang omzet seharinya cuma ada
dikisaran rp 50.000 sampai rp 70.000.
“Pakde hebat,, bagaimana caranya bisa berkurban tiap tahun
tanpa absen ?”
“Ya nabung Nduk… kalau uangnya sudah cukup, pakde beli anak
kambing yang harganya masih 300.000 an. Setelah
itu pakde pelihara. Dikasih makanannya
ya sayur mayur sisa dari jualan ini. Nanti
pas Lebaran Haji kan kambingnya sudah besar dan siap dijadikan kambing kurban”
“Waaahh,,, hebat bener pakde ini”
“Apanya yang hebat tho nduk,, orang lain juga banyak yang
berkurban. Ini kan cuma salah satu cara
saja untuk memenuhi salah satu anjuran Allah”.
Subhanallah…. Saya benar-benar terkagum-kagum dan terkesima
dengan ketulusan bapak tua ini untuk berupaya memenuhi hak Allah walaupun dalam
kondisi yang tidak bisa dibilang sangat lapang.
Padahal di sisi sebelah sana,
masih banyak orang yang tidak ingin berkurban dengan berbagai alasan. Ada yang karena tahun ini banyak sekali
kebutuhan anak-anak sekolah, karena
uangnya habis buat beli mobil baru, rumah baru atau waah, lagi cekak nih
tabunganya habis setelah jalan-jalan ke eropa.
Memang tidak ada yang salah …… karena Allah memberikan
keringanan, bahwa “ kurban” hanya diwajibkan
untuk mereka yang mampu. Jadi kita
sendiri yang diberi kebebasan oleh Allah untuk menentukan apakah kita tergolong
mampu atau tidak mampu.
Semangat bapak tua tukang sayur itu akhirnya saya coba
tularkan di majelis taklim surau kami.
Karena setelah kami berhitung untuk harga kambing paling murah rp 1.500.000,
maka satu orang hanya perlu menyisihkan uang kurang dari 5000 rupiah per hari. Ketika saya menanyakan kepada ibu-ibu di
taklim itu, siapa yang mampu ?. Maka
hampir seluruhnya bersemangat untuk mampu.
Maka sejak saat itu kami sepakat untuk menggalakkan “Tabungan Kurban”.
Jadi mampu atau tidak mampu adalah pilihan. Dan untuk mampu membutuhkan upaya. Membutuhkan perencanaan. Waah... bisa dibayangkan ya tahun depan berapa
banyak kambing yang akan dikurbankan di kampung kami.
Kegiatan itu secara kebetulan ternyata sejalan dengan salah
satu kegiatan amal bakti Yayasan kami, Yayasan Insan Indonesia Berkarya
(IIB). Sejak beberapa bulan lalu kami
telah menitipkan masing-masing 2 ekor
kambing betina + 1 ekor kambing jantan
untuk keluarga-keluarga yang kurang mampu.
Tiga ekor kambing itu akan
dititipkan selama 1 tahun. Dan jika dalam satu tahun itu kambing
tersebut berkembang biak, maka anak-anaknya adalah hak dari keluarga yang
memeliharanya. Kalau ada kasus dimana
dua kambing betinanya sama-sama mandul tentu kami akan pertibangkan
kemudian.
Hehe….ini bukan sekedar bisnis (*membaca pikiran mereke yang
berkata “ahhh, dasar pengusaha”). Kami menyebut
ini sebagai kewirausahaan sosial, meminjam istilah Muhammad Yusuf, pelopor
Grameen Bank, India. Yang menyebutkan
bahwa kewirausahaan sosial adalah bisnis sosial yang mengubah tujuan bisnis
dari pencarian laba menjadi penyelesaian masalah ekonomi, sosial dan lingkungan yang dihadapi oleh
masyarakat. Atau dengan kata lain
menggubah goal bisnis dari laba menjadi manfaat. Dan tidak ada yang salah ketika akhirnya
manfaat itu membuahkan laba.
Kami hanya ingin suatu saat nanti, mungkin tidak lama
lagi. Di tahun depan atau 2-3 tahun yang
akan datang warga desa kami akan dengan semangat sama-sama meneriakkan bahwa “Kami
mampu”. Karena Allah, Bersama Allah, dan
untuk Allah…..kami MAMPU.
Semoga Allah memberkahi upaya kami untuk mendekat kepadaNya…..aaamiiiin
“Demi Allah, dunia ini dibandingkan akherat ibarat seseorang
yang mencelupkan jarinya ke laut. Air
yang tersisa di jarinya ketika diangkat itulah nilai dunia (HR. Muslim).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar