Rabu, 27 Mei 2009

Pray in Silent

Sabtu kemarin, with my close friend, saya menyempatkan diri untuk menghadiri workshop “Paling Inspiratif -Tuhan Inilah Proposal Hidupku”. Cukup menarik, walaupun terlalu singkat. Dan cukup menggugah kita untuk merencanakan dan menetapkan tujuan hidup menjadi lebih jelas arahnya.

Kalau untuk sebuah acara tingkat RT atau kelurahan saja yang digelar satu dua hari saja butuh proposal, mengapa untuk hidup kita yang berjalan puluhan tahun kita tidak membuat proposal. Mengapa kita membiarkan hidup kita mengalir tanpa arah, tanpa tujuan, tanpa cita-cita?.*


Menurut hasil penelitian yang diadakan terhadap lulusan MBA di havard, tahun 1979 tentang rencana hidup mereka, didapatkan data bahwa
Kelompok A : 3% memiliki rencana hidup yang jelas , spesifik dan tertulis
Kelompok B :13 % memiliki rencana hidup yang jelas, spesifik tetapi tidak tertulis
Kelompok C : 84% belum memiliki rencana hidup yang jelas.
Sepuluh tahun kemudian, tahun 1989, periset yang dipimpin Mark McCormack melakukan wawancara dengan responden yang sama, maka hasilnya adalah ;
Kelompok B memiliki penghasilan rata-rata dua kali lipat dibandingkan kelompok C. Dan kelompok A rata-rata memiliki penghasilan rata-rata dibandingkan dengan Kelompok B dan Kelompok C.*

Saya jadi teringat angan-angan saya ketika masih kecil. Walaupun tidak pernah menuliskannya sebagai cita-cita, tetapi saya sering menjadikannya sebagai tema dari karangan saya pada pelajaran Bahasa Indonesia. Entah karena sudah bosan dengan kehidupan di lingkungan padat penduduk atau terobsesi oleh indahnya alam pedesaaan. Di dalam kepala saya selalu tergambar dengan jelas bahwa suatu saat nanti saya akan punya rumah dengan halaman yang luas, dengan pohon-pohon yang besar yang daunnya setiap saat berguguran mengotori halaman. Gambaran itu terasa damai, dimata saya. Dan satu lagi selain rumah dengan halaman yang luas saya juga ingin rumah saya, pagarnya akan saya biarkan terbuka, karena banyak tamu yang datang.

Ternyata angan-angan saya yang sederhana itu, sekarang seperti sebuah mimpi yang terwujud. Halaman rumah saya, hampir setiap saat dihiasi dengan daun-daun yang berguguran dari beberapa pohon besar yang ada di halaman rumah. Dan pagar rumah saya juga tidak perlu saya tutup, karena rumah saya sekarang merangkap menjadi kantor, gudang, laboratorium dan mess karyawan. Saya tidak mungkin menutup pagar rumah saya, sebelum yakin bahwa tidak ada lagi orang yang berkepentingan yang mau masuk.

Saya baru tersadar ketika bang Jamil (sebagai motivator), menceritakan pengalaman dia untuk mencapai cita-citanya menjadi insiyur pertanian. Berbagai perjuangan dan pengorbanan dilaluinya untuk sampai pada proposal hidup yang telah diajukan kepada Tuhannya. Saya seperti tersadarkan bahwa ternyata benar……angan-angan kita, khayalan kita terhadap hidup, seperti sebuah doa yang tidak sempat terucap… saya ulang dengan huruf kapital,,,, SEPERTI DOA YANG TIDAK SEMPAT TERUCAP.

Angan-angan kadang lebih kuat daripada do’a yang kita panjatkan secara formalitas. Tetapi tentu akan menjadi lebih kuat lagi jika angan-angan tadi kita terjemahkan dan kita bawa dalam do’a-doa kita. Sehingga angan-angan atau lebih inteleknya disebut sebagai cita-cita dapat mempengaruhi seluruh aktifitas sel tubuh kita. Sel-sel tubuh kita akan menyokong secara penuh apa yang menyenangkan dan yang kita harapkan kejadiannya. Bisa kita bayangkan betapa berbedanya suasana hati dan kebugaran tubuh kita, ketika kita sedang melakukan perjalanan jauh untuk bertemu kekasih hati dan melakukan perjalanan yang sama untuk bertemu dengan debt colector.

Jadi motivasinya adalah marilah kita mulai menuliskan proposal hidup kita secara spesifik. Prestasi apa yang akan kita sumbangkan untuk masyarakat, untuk bangsa, untuk orang-orang yang kita sayangi dan juga untuk diri kita sendiri. Sehingga jika sudah waktunya kelak kita melakukan pertanggung jawaban di hadapan Allah, kita tidak malu karena belum ada yang kita lakukan, atau yang kita lakukan tidak berarti di mata ALLAH…Audzubillahimindzali
k.

Tetapi angan-angan yang ada dalam diri kita sifatnya tidak selalu positif. Ada juga angan-angan yang sifatnya negatif. Malah saya pernah bertemu seseorang yang kepalanya penuh dengan angan-angan negatif. Sehingga, jangankan mukanya, badannya pun mendukung penuh apa yang diangan-angankannya…..berat melangkah, lusuh dan kusam. Angan-angan negatif mungkin bisa kita sebut sebagai kekhawatiran atau negatif thinking.

Saya pernah membaca cerita nyata tentang kehidupan seorang wanita karir yang harus meninggalkan keluarganya dalam waktu yang cukup lama. Pada saat itu, dia masih mempunyai seorang bayi dan seorang anak balita. Dan karena beberapa faktor, kedua anaknya pun tidak dapat ikut serta bersamanya. Maka akhirnya diambillah keputusan untuk mendahulukan karirnya dengan meninggalkan anak dan suaminya.

Sejak awal keberangkatan wanita ini, merenda karirnya di negeri orang, sudah terselip berbagai kekhawatiran yang teramat sangat. Kekhawatiran tentang kesehatan anak-anaknya. Kekhawatiran tentang kesetiaan suaminya. Dan juga kekhawatiran tentang keselamatan dan kehormatan dirinya di negeri orang.

Dan hanya dibutuhkan waktu enam bulan untuk menjawab semua kekhawatirannya yang semakin hari semakin memuncak. Anak bungsunya sakit dan harus dirawat intensif di Rumah Sakit. Karena kerepotan yang tidak tertahankan, sang suami memutuskan untuk mencari pendamping tambahan. Dia sendiri mengalami peristiwa tragis, rumah kostnya dirampok. Semua uangnya ludes dan kehormatannya hampir saja terenggut jika tidak ada pertolongan dari tetangga yang baik hati. Di akhir tulisannya dia menulis dengan huruf kapital “KEKHAWATIRAN SAYA, ADALAH DOA YANG TIDAK PERNAH TERUCAP,,,TAPI TELAH TERJAWAB”. La haulawalaquata illa billah.

Jadi oleh-oleh dari workshop sabtu kemarin…..tidak hanya bagaimana dari sekarang kita mulai menyusun proposal hidup kita. Tetapi juga mulai melihat dan membiasakan hati untuk selalu berbaik sangka terutama kepada ALLAH.




* Azzaini, Jamil, Tuhan, Inilah Proposal Hidupku, 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar