Rabu, 27 Mei 2009

Sepasang Teko

Bulan ini tepat 17 tahun usia pernikahan saya, yang berarti tanpa terasa 17 tahun juga saya menjadi bagian dari masyarakat tradisional betawi ini. Andai tidak ada yang memberitahu saya, maka saya tidak akan pernah tahu tentang kekurangan masyarakat tradisional ini. Saya begitu positif thinking terhadap mereka seperti mereka juga selalu berpositif thinking terhadap saya.

Salah satu hal yang turut mengikat saya di sini adalah sepasang kakek nenek tetangga saya. Mereka adalah gambaran ketulusan dan kebersahajaan hidup. Profesinya sebagai petani dengan keluarga besar, memaksa mereka untuk hidup dengan sangat sederhana. Tetapi keterbatasan mereka secara ekonomi tidak pernah menghalanginya untuk melakukan kebaikan untuk orang lain.

Ada satu kebiasaan yang tetap dilakukannya sampai sekarang. Setiap pagi si nenek selalu menyediakan air putih segar dan air teh tawar hangat, di dua teko yang berbeda. Terkadang jika mereka sedang panen singkong, ubi jalar, pisang atau apa saja, maka yang disuguhkan akan ditambah dengan hasil panen itu. Suguhan ini akan mereka letakkan di teras rumahnya yang tidak berpagar. Siapa saja orang yang ingin....boleh menikmati suguhan ini. Tidak terkecuali saya dan suami, biasanya sepulang dari jogging, ikut juga mencicipi suguhan sederhana ini.

Yang paling sering menikmati adalah para pedagang-pedagang yang lewat di siang hari. Mereka tidak perlu minta ijin untuk menikmati suguhan ini. Dan setiap suguhan habis, maka salah satu anggota keluarga akan segera menambahkannya kembali. Kebiasaan ini selalu mereka lakukan, tanpa pernah kenal musim dan tanpa kenal mood. Kelihatannya yang mereka lakukan adalah hal kecil. Tapi saya yakin bagi para pedagang yang lapar dan haus setelah setengah hari berkeling-keliling, maka suguhan ini sungguh besar artinya.

Setiap pagi ketika saya keluar rumah maka saya akan melihat sepasang teko di teras rumah mereka. Sepasang teko itu selalu membuat pertanyaan yang sama ketika saya pandang ” Kebaikan apa yang sudah kamu lakukan kemarin dan kebaikan apa yang kamu rencanakan hari ini??”. Pertanyaan itu selalu berulang tiap hari.....yang menyebabkan hidup saya selalu termotifasi untuk memberi manfaat. Insyaallah....amiin.

Yang saya kagumi dari mereka adalah ketulusannya berbuat. Dalam kebuta-hurufannya, seolah-olah mereka tahu apa yang dikatakan Tuhannya dalam Al Isro 7, ”Jika kamu berbuat baik berarti kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka kejahatan itu bagi dirimu sendiri”.

Subhanaallah.... Penghayatan mereka terhadap ayat ini, sungguh membuat saya malu. Malu dan iri hati karena hati saya belum bisa setulus mereka dalam berbuat baik. Perbuatan baik yang mereka lakukan....independent, tidak bergantung pada reaksi orang lain. Mereka melakukanya (*maaf) seperti melakukan BAB (buang air besar). Setelah melakukannya ...sudah,, saat itu juga mereka melupakannya. Malah mungkin kebaikan yang mereka lakukan sudah menjadi kebutuhan. Sehingga ada yang menganjal dan tidak tersalurkan, jika kebaikan ini tidak dilakukan.

Mungkin ini contoh tepat sebagai definisi dari ”Keikhlasan” seperti yang ditulis Asfa Davy Bya dlm bukunya ”Sebening Mata Hati”. Keikhlasan adalah rahasia antara Allah dan si hamba. Bahkan malaikat pencatat tidak mengetahui sedikitkun mengenainya untuk bisa menuliskannya. Setan tidak mengetahuinya hingga ia tidak bisa merusaknya, nafsu tidak menyadarinya sehingga dia tidak bisa mempengaruhinya.

Saya bertanya pada diri saya sendiri,,bisakah saya seperti mereka. Ikhlas berbuat baik......, indenpendent, tidak tergantung pada reaksi makhluk. Menyakini benar bahwa kebaikan yang saya lakukan adalah untuk diri saya sendiri. Hanya mengharap Allah Ridho.....just all, tidak ada motifasi yang lain.

Sampai saat ini, ketika saya berbuat baik....masih saja terbersit harapan, ada reaksi positif dari orang lain. Entah itu berbentuk kata terimakasih, timbal balik berupa kebaikan atau sekedar ada sambutan hangat tanpa penolakan. Atau kadang melemah menjadi sekedar tidak dicuekin ya.....atau mungkin tidak ketawain atau semakin melemah....tidak dicaci maki.....hehe. Membayangkanya saja ....uchhh,,,sedihnya!!!. Dan membayangkannya saja kadang melemahkan semangat untuk berbuat baik. Wah, ini yang harus segera diberantas. Ayoo...tetap berbuat baik karena perbuatan baik kita adalah untuk diri kita sendiri. Dan itu adalah janji Tuhan kita, yang pasti akan ditepati.

Yang menjadi pertanyaan untuk kita...apakah kita sudah berbuat baik sesuai dengan kapasitas yang kita miliki. Jika mereka bisa ikhlas menyediakan minuman dan suguhan sederhana setiap hari, dalam keterbatasan ekonomi mereka. Kalau kita bisa meniru apa yang telah mereka lakukan, itu juga baik. Tapi kayaknya tentu belumlah layak jika dibandingkan dengan apa yang telah kita peroleh. Jika diibaratkan lagi seperti orang yang BAB, maka orang yang makan banyak tentu arus membuang dalam jumlah yang banyak. Kecuali dia mau menahan diri untuk dipenuhi dengan kotoran dan ampas-ampas yang selayaknya dikeluarkan. Yang akibat akhirnya adalah timbulnya penyakit.

Jadi mari kita buat hati kita tersenyum dengan perbuatan baik yang kita lakukan. Ikhlas berbuat, termasuk dalam melakukan yang telah menjadi kewajiban kita. Kewajiban sebagai Ibu, kewajiban sebagai pandamping, kewajiban sebagai karyawan, kewajiban sebagai anggota masyarakat dan apapun peran yang kita ambil dalam semua sisi kehidupan. Sehingga Allah punya alasan untuk tersenyum pada kita. Selamat datang niat baik, selamat jalan pamrih.


Salam, Feb Amni

Tidak ada komentar:

Posting Komentar