Kamis, 06 Desember 2012

Masalah bukan lagi Masalah



Masalah bagi sebagian orang adalah tantangan.   Bagi sebagian yang lain, masalah adalah penderitaan.  Sebagian orang menanggapi masalah dengan semangat untuk mencari solusi.  Sebagian yang lain ada pula yang terpuruk karena deraan masalah yang bertubi-tubi.  Jadi sebenarnya bukan masalah itu yang menjadi masalah, tapi bagaimana menyikapi masalah, itulah yang menjadi pokok permasalahannya.   Masalah yang ditangani dan disikapi dengan cara yang salah akan melahirkan masalah baru.  Atau masalah yang kecil,  bisa menjadi besar karena terlalu banyak diulang-ulang dan dibesar-besarkan.

Saya pernah menuliskan  bahwa masalah terbagi menjadi dua yaitu masalah nyata dan masalah yang tidak nyata.  Sebagian besar masalah yang memenuhi otak dan hati sebenarnya adalah tidak nyata. Yang harusnya bisa diselesaikan hanya dengan sejenak melepaskan pikiran kita.  Sejenak meletakkannya di luar diri kita, sehingga kita bisa memandangnya dan membedakan mana masalah yang nyata dan masalah yang tidak nyata. Masalah yang tidak nyata tidak membutuhkan penyelesaian, hanya diperlukan sedikit kemampuan untuk memilahnya dan melepaskannya.

Masalah sangat erat kaitannya dengan kapasitas dan kapabilitas.  Kapasitas adalah daya tampung/kemampuan atau disebut juga dengan potensi.  Sedangkan Kapabilitas adalah kemampuan untuk memanfaatkan kapasitas (Eri Sudewo, 2011).   Masalah yang menimpa atau ditimpakan kepada seseorang tidak akan pernah melebihi kapasitasnya.  Hal tersebut telah digariskan dalam Firman Allah dalam Al Baqaroh 287:  “ Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan batas kemampuannya. Baginya ganjaran untuk apa yang diusahakannya, dan ia akan mendapat siksaan untuk apa yang diusahakannya…. .. “.  Artinya ketika seseorang tertimpa suatu masalah, maka Allah telah mengukur bahwa dia dapat menyelesaikan masalah tersebut. 

Yang menjadi masalah adalah ketika  seseorang mengatasi masalahnya dengan cara yang salah.  Seperti contohnya ketika kita mendapati seorang anak memecahkan gelas susunya.  Jika yang dilakukan orang tuanya adalah membentak dan memukul anaknya, maka masalah gelas susu yang pecah ini akan berkembang menjadi masalah-masalah yang lain .  Ketika masalah utama,  gelas yang pecah dan susu yang berserakan di lantai belum terpecahkan, sudah lahir masalah yang baru.  Anak yang menangis, kehilangan kendali dan terpeleset genangan susu di lantai.  Ibu yang emosi  menjadi panik dan sakit kepala.   Bapak yang mendengar keributan,  ikut marah-marah karena merasa terganggu.  Waah…. kalau dilanjutnya ceritanya bisa panjang.  Bapak dan Ibu saling menyalahkan…….  Anak yang ketakutan lari ke jalan raya……. Dan,  akhirnya masalah seperti balon yang mengelembung dengan cepat dan siap-siap untuk meledak.    

Bandingkan jika masalah gelas susu yang pecah ditangani dengan lebih tenang dan sabar.  Sang ibu mendekati anaknya dan mengajak membersihkan pecahan gelas dan susu yang berserakan di lantai.  Ketika lantai kembali bersih dan aman, ibu membuatkan susu dan mengajak anak berdialog.  Setelah tahu kronologis kejadian pecahnya gelas, si Ibu mencoba memberi arahan dengan lembut dan penuh kasih sayang.  Masalah selesai.....  Besok ibu bisa beli gelas baru sambil mengajak anaknya jalan-jalan.

Satu tindakan salah dalam menangani  masalah dapat memberikan dampak yang semakin membesar di kemudian hari.   Malah bukan tidak memungkinkan bahwa traumatik anak terhadap pukulan ibu akan membekas seumur hidupnya.  Bentakan Ayah kepada Ibu akan memberikan dampak yang sama.  Sehingga hanya karena tumpahnya susu, keluarga kecil ini menjadi  tidak lagi sehat jika tidak ada terapi lanjutan berupa permintaan maaf dan dialog.

Tenang dan sabar dalam menghadapi masalah mungkin hanya mudah dikatakan dan ditulis.  Dalam penerapannya,  seseorang lebih banyak membiarkan bereaksi secara spontan pada saat tertimpa masalah.  Abu Bakar RA, pernah menunda pengadilan karena terdakwa meludah ke mukanya.  Maka Abu Bakar meminta ijin untuk meninggalkan ruang pengadilan dan berkata, “Maaf saya tidak bisa memutuskan apapun, karena saya sedang marah”.  Cerita itu menasehatkan,  “Jangan bicara dan mengambil keputusan apapun ketika kita sedang marah”.  Masalah masih bisa menunggu kita untuk menenangkan diri, sampai besok atau sekedar keluar ruangan menghirup udara segar.  Upaya ini adalah agar masalah tidak berkembang menjadi masalah-masalah baru hanya kerena ditangani dengan emosi dan kemarahan.

Masalah juga dapat terjadi ketika seseorang tidak dapat mengukur kapasitas/potensinya.  Saya dapat ambilkan contoh kasus yang dapat menggambarkan ini.   Misalnya seorang gadis (20 th) kita sebut saja Wati, memutuskan menikah dengan seorang yang mengaku  duda (45 th). Karena ketertarikan secara fisik dan materi, maka Wati menerima lamaran tanpa banyak pertimbangan tentang riwayat hidup calon suami sebelumnya.  Ternyata setelah menikah dan kemudian hamil,  dia baru tahu bahwa sang suami sudah mempunyai 3 orang istri, dua istri resmi dan 1 istri siri.  Satu istri sudah diceraikan.   Jadi Wati punya 2 orang madu dengan 4 orang anak tiri.  Karena satu dan lain hal, beberapa bulan yang lalu dua anak tirinya harus tinggal bersama dirinya.  Anak-anak balita yang masih butuh banyak perhatian dan merepotkan karena kerewelan dan kecerewetannya.  Tanpa pembantu dan kehamilan yang menguras energinya,  menyebabkan Wati sangat depresi  dan tertekan beban hidupnya.  Baginya setiap hari adalah masalah.  Dan setiap hari tidak ada masalah yang dapat dia pecahkan.  Semua masalah dibiarkannya mengantung  tanpa menyelesaian.  Semua kekecewaan dan kemarahannya dilampiaskan dengan  menyiksa anak tirinya .  Akhirnya,  Wati harus mempertanggung  jawabkan perbuatannya , karena tindakan KDRT terhadap anak tirinya.  Apa yang salah dari Wati ?  Bukan keputusannya menikah yang salah,  tapi  Wati dan  keluarganya tidak mengukur kapasistas seorang gadis umur 20 tahun dalam menghadapi mahligai rumah tangga bersama seorang laki-laki paruh baya dengan dua madu dan empat anak tiri. 

Masalah  yang  datang  secara beruntun  seakan menyumbat kotak kapasitasnya.  Menyebabkan semua potensi dirinya menjadi terhambat dan ikut-ikutan mampet.  Dalam kondisi semacam ini, maka seseorang sangat rawan menderita stress dan depresi  tingkat tinggi.  Yang efek berikutnya adalah segala tindakannya menjadi tidak terkontrol dan tanpa pertimbangan logis.

Kapasitas seseorang  dalam menangani masalah bukanlah harga mati. Selama masih ada kemauan, kapasitas bisa terus ditingkatkan dan dioptimalkan.  Karena itulah kadang orang berseleroh ketika sedang tertimpa masalah “sedang mau naik kelas nih”.   Hehe,... mungkin hanya menghibur diri, tapi kecerdasan dan kreatifitas dalam memecahkan masalah dapat menjadi salah satu faktor pendongkrak kapasitas.  Faktor yang lain adalah komitmen, konsistensi dan pengalaman.  Untuk meningkatkan kapasitasnya seseorang harus punya komitmen yang kuat, untuk terus bekerja keras, untuk tetap jujur dan tidak egois.  Tanpa komitmen tidak orang yang dapat memanfaatkan kapasitasnya.  Dan komitmen butuh konsistensi.  Tanpa konsistensi sebuah kerja akan sia-sia.   Dan akhirnya semua masalah akan menjadi pengalaman.  Menjadi guru untuk menyambut masalah-masalah berikutnya. 

Dengan kapasitas yang semakin meningkat dan kapabilitas yang semakin terasah, maka masalah bukan lagi menjadi beban.  Masalah adalah tantangan.  Masalah adalah pelajaran.  Masalah juga karunia karena dengan masalah kita semakin mendekat kepada Sang Pencipta.  Pantas saja jika Nabi pernah berkata, “Jika seseorang tahu ada apa di balik musibah/masalah yang dihadapinya, tentu dia akan menghadapi musibah/masalah itu dengan tersenyum”.

Selanjutnya….percayalah diantara dua kesulitan selalu ada kemudahan.  Aamiin….


Tidak ada komentar:

Posting Komentar