Masalah bagi sebagian orang adalah tantangan. Bagi sebagian yang lain, masalah adalah
penderitaan. Sebagian orang menanggapi
masalah dengan semangat untuk mencari solusi.
Sebagian yang lain ada pula yang terpuruk karena deraan masalah yang bertubi-tubi. Jadi sebenarnya bukan masalah itu yang
menjadi masalah, tapi bagaimana menyikapi masalah, itulah yang menjadi pokok
permasalahannya. Masalah yang ditangani
dan disikapi dengan cara yang salah akan melahirkan masalah baru. Atau masalah yang kecil, bisa menjadi besar karena
terlalu banyak diulang-ulang dan dibesar-besarkan.
Saya pernah menuliskan bahwa masalah terbagi menjadi dua yaitu
masalah nyata dan masalah yang tidak nyata.
Sebagian besar masalah yang memenuhi otak dan hati sebenarnya adalah
tidak nyata. Yang harusnya bisa diselesaikan hanya dengan sejenak melepaskan
pikiran kita. Sejenak meletakkannya di
luar diri kita, sehingga kita bisa memandangnya dan membedakan mana masalah
yang nyata dan masalah yang tidak nyata. Masalah yang tidak nyata tidak
membutuhkan penyelesaian, hanya diperlukan sedikit kemampuan untuk memilahnya
dan melepaskannya.
Masalah sangat erat kaitannya dengan kapasitas dan
kapabilitas. Kapasitas adalah daya
tampung/kemampuan atau disebut juga dengan potensi. Sedangkan Kapabilitas adalah kemampuan untuk
memanfaatkan kapasitas (Eri Sudewo, 2011).
Masalah yang menimpa atau ditimpakan kepada seseorang tidak akan pernah
melebihi kapasitasnya. Hal tersebut
telah digariskan dalam Firman Allah dalam Al Baqaroh 287: “ Allah tidak membebani
seseorang kecuali sesuai dengan batas kemampuannya. Baginya ganjaran untuk apa
yang diusahakannya, dan ia akan mendapat siksaan untuk apa yang diusahakannya….
.. “. Artinya ketika seseorang
tertimpa suatu masalah, maka Allah telah mengukur bahwa dia dapat menyelesaikan
masalah tersebut.
Yang menjadi masalah adalah ketika seseorang mengatasi masalahnya dengan cara
yang salah. Seperti contohnya
ketika kita mendapati seorang anak memecahkan gelas susunya. Jika yang dilakukan orang tuanya adalah
membentak dan memukul anaknya, maka masalah gelas susu yang pecah ini akan
berkembang menjadi masalah-masalah yang lain .
Ketika masalah utama, gelas yang pecah dan susu yang berserakan di lantai
belum terpecahkan, sudah lahir masalah yang baru. Anak yang menangis, kehilangan kendali dan
terpeleset genangan susu di lantai. Ibu yang
emosi menjadi panik dan sakit
kepala. Bapak yang mendengar keributan, ikut marah-marah karena merasa terganggu. Waah…. kalau dilanjutnya ceritanya bisa
panjang. Bapak dan Ibu saling
menyalahkan……. Anak yang ketakutan lari
ke jalan raya……. Dan, akhirnya masalah seperti
balon yang mengelembung dengan cepat dan siap-siap untuk meledak.
Bandingkan jika masalah gelas susu yang pecah ditangani dengan lebih
tenang dan sabar. Sang ibu mendekati
anaknya dan mengajak membersihkan pecahan gelas dan susu yang berserakan di
lantai. Ketika lantai kembali bersih dan
aman, ibu membuatkan susu dan mengajak anak berdialog. Setelah tahu kronologis kejadian pecahnya
gelas, si Ibu mencoba memberi arahan dengan lembut dan penuh kasih sayang. Masalah selesai..... Besok ibu bisa beli gelas baru sambil
mengajak anaknya jalan-jalan.
Satu tindakan salah dalam menangani
masalah dapat memberikan dampak yang semakin membesar di kemudian
hari. Malah bukan tidak memungkinkan
bahwa traumatik anak terhadap pukulan ibu akan membekas seumur hidupnya. Bentakan Ayah kepada Ibu akan memberikan
dampak yang sama. Sehingga hanya karena
tumpahnya susu, keluarga kecil ini menjadi tidak lagi sehat jika tidak ada terapi lanjutan
berupa permintaan maaf dan dialog.
Tenang dan sabar dalam menghadapi masalah mungkin hanya mudah dikatakan
dan ditulis. Dalam penerapannya, seseorang lebih banyak membiarkan bereaksi
secara spontan pada saat tertimpa masalah.
Abu Bakar RA, pernah menunda pengadilan karena terdakwa meludah ke
mukanya. Maka Abu Bakar meminta ijin
untuk meninggalkan ruang pengadilan dan berkata, “Maaf saya tidak bisa
memutuskan apapun, karena saya sedang marah”.
Cerita itu menasehatkan, “Jangan
bicara dan mengambil keputusan apapun ketika kita sedang marah”. Masalah masih bisa menunggu kita untuk
menenangkan diri, sampai besok atau sekedar keluar ruangan menghirup udara
segar. Upaya ini adalah agar masalah
tidak berkembang menjadi masalah-masalah baru hanya kerena ditangani dengan
emosi dan kemarahan.
Masalah juga dapat terjadi ketika seseorang tidak dapat mengukur
kapasitas/potensinya. Saya dapat
ambilkan contoh kasus yang dapat menggambarkan ini. Misalnya seorang gadis (20 th) kita sebut
saja Wati, memutuskan menikah dengan seorang yang mengaku duda (45 th). Karena ketertarikan secara fisik
dan materi, maka Wati menerima lamaran tanpa banyak pertimbangan tentang
riwayat hidup calon suami sebelumnya.
Ternyata setelah menikah dan kemudian hamil, dia baru tahu bahwa sang suami sudah
mempunyai 3 orang istri, dua istri resmi dan 1 istri siri. Satu istri sudah diceraikan. Jadi Wati punya 2 orang madu dengan 4 orang
anak tiri. Karena satu dan lain hal,
beberapa bulan yang lalu dua anak tirinya harus tinggal bersama dirinya. Anak-anak balita yang masih butuh banyak
perhatian dan merepotkan karena kerewelan dan kecerewetannya. Tanpa pembantu dan kehamilan yang menguras
energinya, menyebabkan Wati sangat
depresi dan tertekan beban hidupnya. Baginya setiap
hari adalah masalah. Dan setiap hari
tidak ada masalah yang dapat dia pecahkan.
Semua masalah dibiarkannya mengantung tanpa menyelesaian. Semua kekecewaan dan kemarahannya
dilampiaskan dengan menyiksa anak
tirinya . Akhirnya, Wati harus mempertanggung jawabkan perbuatannya , karena tindakan KDRT
terhadap anak tirinya. Apa yang salah
dari Wati ? Bukan keputusannya menikah
yang salah, tapi Wati dan keluarganya tidak mengukur kapasistas seorang
gadis umur 20 tahun dalam menghadapi mahligai rumah tangga bersama seorang laki-laki paruh
baya dengan dua madu dan empat anak tiri.
Masalah yang datang secara
beruntun seakan menyumbat kotak kapasitasnya. Menyebabkan semua potensi
dirinya menjadi terhambat dan ikut-ikutan mampet. Dalam kondisi semacam ini, maka seseorang
sangat rawan menderita stress dan depresi tingkat tinggi. Yang efek berikutnya adalah segala
tindakannya menjadi tidak terkontrol dan tanpa pertimbangan logis.
Kapasitas seseorang dalam
menangani masalah bukanlah harga mati. Selama
masih ada kemauan, kapasitas bisa terus ditingkatkan dan dioptimalkan. Karena itulah kadang orang berseleroh ketika
sedang tertimpa masalah “sedang mau naik kelas nih”. Hehe,... mungkin hanya menghibur diri, tapi
kecerdasan dan kreatifitas dalam memecahkan masalah dapat menjadi salah satu faktor pendongkrak kapasitas. Faktor yang lain adalah komitmen, konsistensi dan pengalaman.
Untuk meningkatkan kapasitasnya seseorang harus punya komitmen yang
kuat, untuk terus bekerja keras, untuk tetap jujur dan tidak egois. Tanpa komitmen tidak orang yang dapat
memanfaatkan kapasitasnya. Dan komitmen
butuh konsistensi. Tanpa konsistensi
sebuah kerja akan sia-sia. Dan akhirnya
semua masalah akan menjadi pengalaman. Menjadi
guru untuk menyambut masalah-masalah berikutnya.
Dengan kapasitas yang semakin meningkat dan kapabilitas yang semakin
terasah, maka masalah bukan lagi menjadi beban.
Masalah adalah tantangan. Masalah
adalah pelajaran. Masalah juga karunia
karena dengan masalah kita semakin mendekat kepada Sang Pencipta. Pantas saja jika Nabi pernah berkata, “Jika
seseorang tahu ada apa di balik musibah/masalah yang dihadapinya, tentu dia
akan menghadapi musibah/masalah itu dengan tersenyum”.
Selanjutnya….percayalah diantara dua kesulitan selalu ada
kemudahan. Aamiin….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar