“Waaah, wanita ini cantik banget “, gunam saya
dalam hati. Walaupun bukan cantik alami, tapi polesan dan keahliannya berdandan
membuat saya terkagum-kagum. Dengan bibir
super merah dan riasan mata warna warni, wanita itu tampak paling mencolok di
tengah kerumunan ibu-ibu pengajian yang berebut memilih belanjaan di salah satu
outlet susu murni di puncak, Bogor.
Tiba-tiba .....”Apa sssiiih buuuuu,
dorong-dorong .....sabaaar dong. Sadar
gak siiih kalau keteknya bau !!”.
Gubbbbrak..... suaranya walaupun tidak terlalu
keras, tapi cukup untuk membuat banyak orang
menghentikan aktifitas belanjanya dan mulai mencari sumber suara cempreng itu. Tapi saya tanpa mencari-cari… tahu persis, dari mana
kalimat super jelek itu berasal.
Karena sumber suara itulah yang
fisiknya sedang saya kagumi beberapa detik yang lalu. Kekaguman yang tiba-tiba menguap entah kemana.
Waah.... seperti
itu rupanya yang digambarkan dalam pepatah jawa “Ajining diri dumating ing lathi” (kehormatan seseorang berasal dari lidah/kata-katanya). Apa yang telah diusahakanmya untuk mempercantik diri dengan polesan lipstik, rambut kriwel-kriwel, dan badan super wangi menjadi kehilangan arti ketika kata-katanya tidak secantik bibir pemiliknya.
Dalam pepatah lain…. “Mulutmu
Harimaumu”, begitu tulis Putu Setia dalam tajuknya di harian Tempo ketika
mengomentari aksi asal komentar seorang politikus terhadap Gus Dur, mantan Presiden RI. Komentar garangnya yang menyebut Gus Dur dulu
lengser karena
tersandung kasus korupsi Buloggate dan Bruneigate. Komentar itu memicu kemarahan
berbagai pihak. Yang ujung-ujungnya mengharuskannya meminta
maaf secara terbuka kepada masyarakat, pengikut dan keluarga beliau. Pasti bukan adegan yang mengharukan jika
kemudian politisi tersebut harus sungkem
kepada Ibu Shinta Nuriyah Wahid sebagai bentuk permintaan maaf. Jauh
dari kesan kegarangan komentar sebelumnya.
Maka, harimau itu telah mengalahkannya.
Itulah hebatnya
mulut. Hebatnya kata-kata. Kata-kata bukan sekedar suara kosong seperti
lolongan anjing atau kokokan ayam. Kata-kata juga bukan hanya semata sarana
komunikasi yang menjadikan dua orang atau lebih mengerti maksud dan tujuan
masing-masing. Lebih dari itu, kata-kata
adalah jati diri kita. Segala
apa yang kita katakan mencerminkan siapa diri kita sebenarnya. Utuh, seutuh-utuhnya. Mulai soal pengetahuan, etika, pergaulan,
latar belakang keluarga dan budaya. Hingga
keyakinan dan agama. Maka…..kata-kata
adalah cara pandang dan kehidupan kita. Kita akan ternilai seperti apa di hadapan
orang lain sepenuhnya terukur melalui cara kita berbahasa.
Berbahasa tidak
sesederhana memilih kata-kata. Tapi juga
menyangkut cara menyampaikannya , mengekspresikannya dan memilih intonasi yang
akan digunakan. Bahasa adalah
etika. Bahasa adalah pesona. Dan bahasa adalah kekuatan.
Karena itulah bangsa
Arab mengumpamakan “Mulutmu adalah
pedangmu”. Sehebat itukah ?......
ya. Lantaran, setiap kata membawa energi
yang sangat besar yang mampu menjadikan sesuatu atau seseorang berpikir atau
berbuat kearah yang dituju oleh kata-kata itu.
Artinya, apa yang yang keluar dari mulut kita adalah senjata yang dapat
dipakai untuk melukai, membela diri, membela orang lain ataupun berperang
memperjuangkan sesuatu.
Dalam salah satu
cerita hikayat diceritakan seorang pemuda yang merasa bersalah karena sudah
menyebarkan berita yang salah tentang saudaranya.
Maka dia menghadap seorang alim ulama dan meminta petunjuk atas
kesalahannya itu.
“Aku telah menyebarkan
berita yang salah tentang saudaraku.
Bagaimana aku harus memperbaikinya ?”
“Sebelum meminta maaf
padanya maka pergilah ke pasar dan belilah bulu ayam. Tebarkan dia di sepanjang jalan menuju
rumahmu”, ujar ulama itu.
Pemuda itu pergi ke
pasar dan menjalankan perintah ulama tersebut.
Dan segera kembali menemuinya.
“Aku sudah menjalankan
perintahmu. Apa yang harus kulakukan
selanjutnya ?”.
“Kembalilah ke pasar,
sambil mengumpulkan kembali bulu-bulu ayam yang tadi sudah engkau sebarkan”.
Walaupun tidak yakin
apa yang dia lakukan akan berhasil. Pemuda
itu tetap menjalankan sesuai perintah ulama itu. Dia mengejar dan mencari-cari bulu-bulu ayam
yang sudah beterbangan. Semua dia
lakukan dengan sepenuh hati, karena rasa bersalahnya itu sangat menyiksanya. Sampai
hampir senja, dia hanya mampu mengumpulkan 5 lembar bulu ayam dari beratus-ratus
bulu ayam yang telah disebarkannya.
Dengan langkah gontai,
dia kembali menemui ulama itu.
“Aku hanya dapat
menangkap 5 lembar bulu ayam. Sebagian besar
bulu ayam telah terbang sangat jauh hingga tidak lagi kuketahui dan tidak
terjangkau olehku”.
“Seperti itulah kata-katamu. Sekali engkau menyebarkannya, maka engkau
tidak akan dapat menangkapnya kembali”.
Karena itu mari
berhati-hati dengan mulut kita. Yang dalam
kesantunannya berbahasa secara nyata dapat
menghantarkan seseorang menuju kehormatannya.
Tapi di lain pihak, mulut juga dapat menghancurkan atau mengkucilkan
seseorang. Karena mulut dengan
kemampuannya berkata-kata menyimpan energi dahsyat yang bisa menyulap dunia menjadi
membahagiakan atau menyengsarakan.
“Tidak ada suatu ucapan pun yang diucapkan melainkan ada di dekatnya
malaikat pengawas yang selalu hadir.”( QS. Qaaf: 18)
'Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah ia
berkata-kata yang baik atau diam.'' (HR Bukhari dan Muslim).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar