Rabu, 26 Desember 2012

Energi Mulut :-)


“Waaah, wanita ini cantik banget “, gunam saya dalam hati. Walaupun bukan cantik alami, tapi polesan dan keahliannya berdandan membuat saya terkagum-kagum.  Dengan bibir super merah dan riasan mata warna warni, wanita itu tampak paling mencolok di tengah kerumunan ibu-ibu pengajian yang berebut memilih belanjaan di salah satu outlet susu murni di puncak, Bogor. 

Tiba-tiba .....”Apa sssiiih buuuuu, dorong-dorong .....sabaaar dong.  Sadar gak siiih kalau keteknya bau !!”.  

Gubbbbrak..... suaranya walaupun tidak terlalu keras, tapi cukup untuk membuat banyak orang  menghentikan aktifitas belanjanya dan mulai mencari sumber  suara cempreng itu.  Tapi saya tanpa mencari-cari tahu persis, dari mana kalimat super jelek itu berasal.  Karena  sumber suara itulah yang fisiknya sedang saya kagumi beberapa detik yang lalu.  Kekaguman yang tiba-tiba menguap entah kemana. 

Waah.... seperti  itu rupanya yang digambarkan dalam pepatah jawa  “Ajining diri dumating ing lathi” (kehormatan seseorang  berasal dari lidah/kata-katanya). Apa yang telah diusahakanmya untuk mempercantik diri dengan polesan lipstik, rambut kriwel-kriwel, dan badan super wangi menjadi kehilangan arti ketika kata-katanya tidak secantik bibir pemiliknya. 

Dalam pepatah lain…. “Mulutmu Harimaumu”, begitu tulis Putu Setia dalam tajuknya di harian Tempo ketika mengomentari aksi asal komentar seorang politikus terhadap  Gus Dur, mantan Presiden RI.  Komentar garangnya yang menyebut Gus Dur dulu  lengser karena tersandung kasus korupsi Buloggate dan Bruneigate.  Komentar itu memicu kemarahan berbagai  pihak.  Yang ujung-ujungnya mengharuskannya meminta maaf secara terbuka kepada masyarakat, pengikut dan keluarga beliau.  Pasti bukan adegan yang mengharukan jika kemudian politisi tersebut harus  sungkem  kepada Ibu Shinta Nuriyah Wahid  sebagai bentuk permintaan maaf.  Jauh dari kesan kegarangan komentar sebelumnya.  Maka, harimau itu telah mengalahkannya. 

Itulah hebatnya mulut.  Hebatnya kata-kata.  Kata-kata bukan sekedar suara kosong seperti lolongan anjing atau kokokan  ayam.  Kata-kata juga bukan hanya semata sarana komunikasi yang menjadikan dua orang atau lebih mengerti maksud dan tujuan masing-masing.  Lebih dari itu, kata-kata adalah jati diri kita.  Segala apa yang kita katakan mencerminkan siapa diri kita sebenarnya.  Utuh, seutuh-utuhnya.  Mulai soal pengetahuan, etika, pergaulan, latar belakang keluarga dan budaya.  Hingga keyakinan dan agama.  Maka…..kata-kata adalah cara pandang dan kehidupan kita.  Kita akan ternilai seperti apa di hadapan orang lain sepenuhnya terukur melalui cara kita berbahasa. 

Berbahasa tidak sesederhana memilih kata-kata.  Tapi juga menyangkut cara menyampaikannya , mengekspresikannya dan memilih intonasi yang akan digunakan.  Bahasa adalah etika.  Bahasa adalah pesona.  Dan bahasa adalah kekuatan.

Karena itulah bangsa Arab mengumpamakan  “Mulutmu adalah pedangmu”.  Sehebat itukah ?...... ya.  Lantaran, setiap kata membawa energi yang sangat besar yang mampu menjadikan sesuatu atau seseorang berpikir atau berbuat kearah yang dituju oleh kata-kata itu.  Artinya, apa yang yang keluar dari mulut kita adalah senjata yang dapat dipakai untuk melukai, membela diri, membela orang lain ataupun berperang memperjuangkan sesuatu. 

Dalam salah satu cerita hikayat diceritakan seorang  pemuda yang merasa bersalah karena sudah menyebarkan berita yang salah tentang saudaranya.  Maka dia menghadap seorang alim ulama dan meminta petunjuk atas kesalahannya itu.  

“Aku telah menyebarkan berita yang salah tentang saudaraku.  Bagaimana aku harus memperbaikinya ?”

“Sebelum meminta maaf padanya maka pergilah ke pasar dan belilah bulu ayam.  Tebarkan dia di sepanjang jalan menuju rumahmu”, ujar ulama itu.

Pemuda itu pergi ke pasar dan menjalankan perintah ulama tersebut.  Dan segera kembali menemuinya.

“Aku sudah menjalankan perintahmu.  Apa yang harus kulakukan selanjutnya ?”.

“Kembalilah ke pasar, sambil mengumpulkan kembali bulu-bulu ayam yang tadi sudah engkau sebarkan”.

Walaupun tidak yakin apa yang dia lakukan akan berhasil.  Pemuda itu tetap menjalankan sesuai perintah ulama itu.  Dia mengejar dan mencari-cari bulu-bulu ayam yang sudah beterbangan.  Semua dia lakukan dengan sepenuh hati, karena rasa bersalahnya itu sangat menyiksanya.  Sampai hampir senja, dia hanya mampu mengumpulkan 5 lembar bulu ayam dari beratus-ratus bulu ayam yang telah disebarkannya. 

Dengan langkah gontai, dia kembali menemui ulama itu.

“Aku hanya dapat menangkap 5 lembar bulu ayam.  Sebagian besar bulu ayam telah terbang sangat jauh hingga tidak lagi kuketahui dan tidak terjangkau olehku”.

“Seperti  itulah kata-katamu.  Sekali engkau menyebarkannya, maka engkau tidak akan dapat menangkapnya kembali”.


Karena itu mari berhati-hati dengan mulut kita.  Yang dalam kesantunannya berbahasa secara  nyata dapat menghantarkan seseorang menuju kehormatannya.  Tapi di lain pihak, mulut juga dapat menghancurkan atau mengkucilkan seseorang.  Karena mulut dengan kemampuannya berkata-kata menyimpan energi  dahsyat yang bisa menyulap dunia menjadi membahagiakan atau menyengsarakan.

“Tidak ada suatu ucapan pun yang diucapkan melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.”( QS. Qaaf: 18)

'Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah ia berkata-kata yang baik atau diam.'' (HR Bukhari dan Muslim).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar