Selasa, 04 Desember 2012

Gerakan "PEDULI TETANGGA"


Umar berkata,” Aku hampir mengira bahwa tetanggaku berhak atas harta warisanku.  Karena begitu seringnya Nabiullah berpesan untuk memuliakan mereka”. 

Tetangga adalah orang-orang yang terdekat dengan kita.  Dalam Islam diisyaratkan bahwa yang disebut  tetangga adalah 40 rumah di depan, 40 rumah di belakang, 40 rumah di samping kanan dan 40 rumah di samping kiri.   Waah banyak ya…. Coba sekarang kita hitung berapa tetangga yang sudah kita kenal dengan baik.  Berapa tetangga yang sudah pernah kita kunjungi.  Dan berapa tetangga yang punya hubungan cukup dekat.  Dan juga  berapa tetangga yang sudah kita sayangi dan kita anggap sebagai saudara sendiri.  Hehehe…. Malu ya.   Ternyata yang sudah kita kenal saja masih jauh dari target.  Apalagi yang sudah kita kunjungi…..jauh lebih sedikit.   Yang sudah kita anggap saudara ….aahhh,,, ada siih satu atau dua.  Padahal Nabi Muhammad pernah berpesan agar setiap kali kita memasak sayur yang menimbulkan aroma yang kuat, maka hendaknya lebihkan kuahnya agar dapat dibagikan kepada tetangga.  Waah,, apalagi yang itu.  Tradisi berbagi makanan kepada tetangga mungkin masih kita rasakan sebagai tradisi orang tua di era 70 an sampai era 80 an.   Dan tradisi itu sudah lama sekali mulai ditinggalkan secara bertahap oleh masyarakat.  Terutama oleh masyarakat yang sudah mengidentikkan dirinya dengan masyarakat perkotaan. 

Ternyata kehidupan kita sekarang, dari unsur  yang paling dekat saja,  sudah sangat jauh dari apa yang sudah dicontohkan Nabi.  Wajar jika kemudian semua permasalahan bangsa menjadi semakin rumit dan berputar-putar.  Karena elemen terkecil dari masyarakat tidak lagi memenuhi apa yang telah dituntunkan.  “HORMATI TETANGGA”  tentu bukan hanya slogan yang mengharuskan kita tersenyum setiap melewati rumah tetangga.  Walaupun tata karma paling sepele inipun juga sudah mulai pudar.  Sebagian besar dari kita sudah menutup jendela mobil sejak keluar dari pagar rumah.  Sampai-sampai tidak ada tetangga yang tahu pasti, sebenarnya siapa tetangganya.  Apalagi kalau slogannya kita geser sedikit menjadi “MARI PEDULI TETANGGA”.  Waah,  semakin jauh dari aplikasinya. 

Saya bersyukur tinggal di wilayah pedesaan yang tetangganya satu sama lain masih saling menyapa.  Dalam masyarakat yang semacam ini, maling sendalpun tidak bisa lolos di kampung kami.  Karena setiap orang yang melintasi jalan akan ditegur dengan kalimat klise “Mau kemana Neng ?”. “Mau kemana Pak/Bu?”.  Walaupun akhir-akhir ini karena perkembangan kota Tangsel yang sangat pesat, akhirnya desa damai kamipun ikut menjadi incaran para pengembang perumahan-perumahan kecil/cluster.  Anak saya menyebut cluster-cluster itu sebagai “rumah penjara".

“Mama, ada rumah penjara baru tuh sudah mulai dihuni”

“Hush, gak boleh ngomong gitu.  Nanti kalau orangnya dengar marah lho”

“Mereka gak bakalan dengar Ma.  Lha wong pagar tingginya aja gak pernah dibuka”

Cluster-cluster ini biasanya dibangun 6-10 rumah.  Dengan tembok tinggi dan pagar kokoh yang selalu tertutup.  Pagarnya pun diberi pembatas fiber gelap.  Sehingga kita yang lewat tidak bisa melihat aktifitas apapun yang ada di dalam rumah-rumah kecil tersebut.  

Sampai saat ini, saya tidak merasa punya kepentingan apapun dengan kehadiran cluster-cluster tersebut.  Tetapi sejak adanya mereka saya menjadi semakin menyadari betapa pentingnya membangun kembali semangat bertetangga.  Akhirnya di acara pengajian kami menggagas dimulainya “GERAKAN PEDULI TETANGGA”.

Kami Yasayan Insan Indonesia Berkarya bekerja sama dengan BKMT (Badan Kordinasi Majelis Taklim) mencoba menggugah masyarakat terutama ibu-ibu untuk kembali kepada peduli kepada tetangganya.  Setiap ibu kami minta menyetorkan data kondisi tetangga-tetangganya yang sangat perlu dibantu.  Data itu kami bagi menjadi 5 kondisi utama, meliputi : anak putus sekolah, rumah tidak layak huni, lansia tidak terurus, orang sakit yang tidak dapat berobat, anak yatim/duafa yang sangat membutuhkan bantuan untuk biaya sekolah.  Dari data tersebut maka kami dapat memetakan kondisi wilayah dan tindakan apa yang bisa diambil. Kami tidak membawa uang sepeserpun.  Kami hanya menghimbau para ibu yang berada di majelis taklim untuk peduli pada tetangganya.  Dengan bermodal hadist, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari kiamat, hendaklah ia memuliakan tetangganya”. 

Walaupun program serupa itu juga sudah menjadi program Pemerintah Daerah, tapi pada aplikasinya masih banyak masyarakat yang tidak terjangkau.  Kami melihat bahwa kegemaran ibu-ibu berkumpul di pengajian-pengajian kecil /taklim ini adalah sebuah potensi besar.  Belum ada riwayatnya pengajian serupa itu yang pernah bubar karena kekurangan jamaah.  Mereka solid dan sangat patuh kepada pimpinannya.  Oleh karena itu saya yakin bahwa gerakan ini akan berhasil atas dukungan ibu-ibu majelis taklim.  Kami sebatas memberikan himbauan agar dalam setiap pertemuan mereka menyisihkan rejekinya 1000-2000 untuk dikumpulkan dalam kas “PEDULI TETANGGA”. 

Tidak semua perempuan bisa berkiprah di kancah politik, karier atau bisnis.   Tapi setiap perempuan bisa menjadi pelopor kepedulian kepada tetangganya. Jadi setiap perempuan yang berdaya akan memberdayakan 160 KK yang ada disekitarnya. Semoga semangat ini akan terus bertahan.   Dan 10-20 tahun yang akan datang, kita tidak akan menemui lagi perempuan dan masyarakat yang tidak berdaya.

Ini hanya langkah yang sangat kecil.  Tapi dari sinilah kita dapat ikut memulai merubah negeri ini.  Ini hanyalah gerakan akar rumput.  Gerakan yang dilakukan oleh masyarakat sebatas kemampuannya.  Tapi setiap gerakan baik adalah magnit.  Yang akan menularkan dan menarik  kebaikan  yang lain.  Kebaikan-kebaikan kecil yang akhirnya terhimpun, insyaallah akan menjadi potensi besar untuk dapat ikut memberikan perubahan baik bagi Negara yang kita cintai bersama ini...... aamiiin.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar