Kamis, 27 Desember 2012

Belajar Bahagia dari Suku Baduy


Rumah kami sering kedatangan tamu dari suku Baduy Dalam.  Mereka menyebut suami saya sebagai kerabatnya.  Hehe…. Saya kurang tahu apa alasannya.   Mungkin karena mereka sama-sama berasal dari Banten.  Untuk sampai ke rumah kami di pamulang, mereka membutuhkan waktu tiga hari berjalan kaki.  Setiap hari mereka akan singgah bermalam ke tempat orang-orang yang mereka anggap  kerabat. 

Mereka datang tidak dengan tangan kosong.   Mereka selalu membawakan buah tangan, berupa hasil panen : pisang, durian, pete atau buah-buahan.  Buah tangan yang mereka bawakan memang tidak seberapa.  Tapi dapatkah anda bayangkan perjuangannya memanggul oleh-oleh itu sambil berjalan kaki selama  tiga hari tiga malam.

Perjalanan itu biasanya mereka lakukan sambil menunggu masa panen.   Mereka mengadakan perjalanan sekalian untuk menjual hasil  alam dan hasil kerajinan tangan berupa baju, dan tas, juga madu. 

Kebiasaaan suku Baduy berkunjung dan membawakan oleh-oleh juga tercermin dalam salah satu budayanya yang dikenal dengan  Seba .  Seba adalah kegiatan tahunan yang dilakukan untuk memberikan seserahan kepada Gubernur Banten.  Seserahan itu  dilbawakan oleh serombongan suku Baduy sebagai bentuk pengakuan kedaulatan Gubernur Banten.  Seserahan itu berupa : gabah, buah-buahan, sayur-sayuran serta beberapa ekor ayam.  Bukan jumlah dan nilai seserahannya yang menarik.  Tapi semangat untuk memberi.   Bahkan memberi  kepada mereka yang notabene lebih berkecukupan daripada mereka sendiri.   Pemberian itu, baik berupa seserahan adat atau oleh-oleh menjadi tanda bahwa Suku Baduy ini adalah masyarakat yang mandiri.  Keterasingan tidak menyebabkan mereka menjadi suku yang eksklusif, apalagi merasa terkucil dan tertinggal.

Walaupun saya tidak ingin menyebutkan bahwa keterasingan adalah suatu yang patut dicontoh, tapi saya ingin mengatakan bahwa dalam keluguan dan keterbatasan mereka,  banyak hal yang bisa menjadi pelajaran.

Seperti  istilah pamali dan teu meunang  yang selalu dipakai suku baduy dalam menjaga harmoni sosial.  Pranata yang sangat sederhana tapi terbukti ampuh  menahan gempuran apapun.  

Lojor teu meunang dipotong (panjang tidak boleh dipotong)

Pondok teu meunang disambung (penmdek tidak boleh disambung)

Kurang teu menang ditambah (kurang tidak boleh ditambah)

Leuwih teu meunang dikurang (lebih tidak boleh dikurangi)

Inti dari istilah-istilah tersebut adalah mensyukuri  nikmat.  Ikhlas.  Sederhana, tegas dan lugas.  Tidak silau hijaunya rumput tetangga.  Apalagi dengan melakukan hal negatif.  Karena itu pasti merusak diri dan pihak lain.  Yang ada digunakan sebaik-baiknya untuk kemaslahatan. 

Cobalah perhatikan wajah dan ekspresi  mereka jika kebetulan anda berpapasan atau berkesempatan berdialog.  Wajahnya selalu tampak ceria dengan senyum tulus yang ikhlas.  Bukan senyum kepura-puraan.  Bukan juga senyum sinis atau meremehkan.  Keluguan mereka dalam berfikir tergambar jelas di wajahnya yang juga tampak polos dan bahagia.
 
Itulah orang Baduy dalam kesederhanaan pola hidup dan juga pola pikirnya,  mereka sungguh menikmati hidup.  Sederhananya kebahagiaan orang Baduy.  Bahagia dalam kesederhanaan dan menyederhanakan kebahagiaan.  “Bersikaplah bahagia maka engkau akan bahagia”.  Tentu mereka tidak pernah tahu resep Dale Carnegie tentang kebahagian  tersebut, tapi sepertinya mereka telah mempraktekkannya dengan sangat baik.

Di dalam Islam itulah yang disebut sebagai Qona’ah. Qana’ah artinya rela menerima dan merasa cukup dengan apa yang dimiliki. Qana’ah  itu bukan malas.   Qana’ah itu selalu giat bekerja dan berusaha, dengan selalu bertawakal kepada Allah dari awal hingga akhir ikhtiarnya.  Sikap  itu akan mendatangkan rasa tentram dan menjauhkan diri dari sifat serakah dan tamak. 

Nabi berpesan, “Sesungguhnya beruntung orang yang masuk Islam dan rizqinya cukup serta  merasa cukup dengan apa yang telah Allah berikan kepadanya”. (H.R.Muslim) 

Dan dalam suatu riwayat, Hakim bin Hizam r.a.berkata, “Saya pernah meminta kepada Rasulullah SAW dan beliaupun memberi kepadaku. Lalu saya meminta lagi kepadanya, dan beliaupun tetap memberi. Kemudian beliau bersabda : „ Hai Hakim ! harta ini memang indah dan manis, maka siap yang mengambilnya dengan hati yang lapang, pasti diberi berkat baginya, sebaliknmya siapa yang mengambilnya dengan hati yang rakus pasti tidak berkat baginya. (H.R.Bukhari dan Muslim ) 

Maka Qona’ah adalah bersyukur.  Bukan kita bersyukur karena diberi kebahagian, tapi karena syukurlah kita menjadi bahagia.  Walaupun tidak pernah mudah, tapi syukur tetap menjadi panduan dasar untuk selalu menapaki hidup yang berkah dan berbahagia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar