Minggu, 12 Juli 2009

Yang Menghadang

Ini masih cerita oleh-oleh. Cerita oleh-oleh dari pengajian rutin yang saya hadiri. Pengajian kali ini diisi oleh tausiah dari ustad Arifin Ilham. Ada cerita yang menarik perhatian saya.

Ketika Ustad Arifin Ilham (AI), baru tiba di bandara Soekarno-Hatta, ada seorang bapak-bapak paruh baya yang tampak letih karena telah lama menunggu kedatangan sang ustad. Dengan tergesa dihampirinya sang ustad. Dan tanpa basa-basi bapak itu berkata, ” Ustad, istri saya adalah jamaah dzikir ustad, dan saat ini sedang sakaratul maut. Kejadian ini sudah berlangsung 3 hari ustad. Tolonglah ikut kerumah saya. Saya membutuhkan pertolongan ustad”. Dengan sigap asisten ustad AI langsung mengingatkan bahwa jadwal ceramah berikutnya adalah 3 jam lagi. Maka setelah menimbang bahwa kepentingan bapak ini sangat pantas untuk mendapat perhatian, maka ustad AI memutuskan untuk bertandang ke rumah sang bapak tersebut.

Singkat cerita ketika sampai di rumah mewah sang bapak tadi, Ustad AI segera diantar ke sebuah kamar. Di kamar tersebut tampak seorang perempuan kurang lebih berumur 55 tahunan, tampak sangat lelah menahan sakit yang tidak terkira. Dalam derita sakitnya itu, sang ibu itu masih bisa merespon kehadiran ustadnya dengan sedikit isyarat senyum. Ustad AI segera menghampiri ibu itu. Tapi tidak seperti cerita-cerita yang kita ketahui ketika menghadapi orang sakaratul maut. Bukan sang ibu yang dibimbing untuk melafatskan kalimat tauhid, tapi sang bapak yang diminta Ustad mengenggam tanggan istrinya dan menirukan apa yang dikatakan Ustad AI, ”Bu,, saya sebagai suami, ridho dengan pengabdian ibu di dalam keluarga ini. Bapak ridho dengan apa yang sudah ibu lakukan semuanya untuk bapak dan anak-anak. Dan Bapak memaafkan semua kesalahan yang mungkin ibu lakukan kepada Bapak. La illahaillallah”. Kalimat ini ditutup dengan dengan sambutan lirih dari mulut sang ibu ”La illahaillallah”. Dan......sang ibu menghembuskan nafas terakhirnya dengan tenang setelah 3 hari merengang nyawa.

Allahu Akbar... Kita tidak tahu dosa apa yang dilakukan oleh sang istri. Tapi yang kita dapat lihat dari cerita nyata tersebut adalah ridho Allah menyertai ridho seorang suami. Terbayang oleh saya, begitu banyak kekurangan saya sebagai seorang istri. Saya masih sering lupa walaupun tahu,, bahwa modal terbesar saya untuk mencari ridho Allah, adalah di dalam rumah saya sendiri. Malah Nabi pernah mengisyaratkat tentang betapa agungnya kedudukan suami bagi seorang istri dengan sebuah hadist. ”Andai diijinkan manusia menyembah manusia tentu aku akan memerintahkan seorang istri untuk menyembah suaminya”.

Jaman berubah,,, emansipasi dipropagandakan dimana-mana, feminisme telah merambah seluruh penjuru. Semakin lama hadist ini semakin tergilas jaman. Tingginya kedudukan seorang suami adalah sepadan dengan tanggung jawab atas amanat yang diembannya, terhadap istri, anak dan masyarakatnya. Seorang istri dapat menghadang suami di depan pintu penghisapan dan berkata ” lakukanlah pertanggungjawabanmu, suamiku,, mengapa aku begini dan mengapa aku begitu. Apakah engkau sudah membimbingku dalam hal ini dan hal itu?. Apakah engkau telah memerintahkanku untuk itu dan untuk ini?". Maka sangatlah sepadan pengabdian yang harus dilakukan seorang istri dengan nilai pertanggungjawaban itu.


Salam,, Feb Amni

Tidak ada komentar:

Posting Komentar