Rabu, 08 Juli 2009

JALAN CINTA (1)

Setiap cinta memiliki jalan untuk dilalui. Dan setiap jalan akan sampai kepada muaranya,, yaitu muara cinta, cinta illahiyah.

Cerita cinta Jalaludin Rumi dapat menjadi salah satu contohnya. Kematian ayahanda tercinta mengusik kenyamanannya. Kenyamanan dalam dekapan kasih orang yang sangat dikagumi dan dihormatinya. Segalanya seolah berakhir dan tercabut dari akarnya, bersamaan dengan kepergian kekasih hatinya. Cintanya tak lagi beralamat. Cintanya membutakannya. Empat puluh hari penuh, Rumi memusatkan diri dalam kedukaan. Dunia kehilangan pesona dan keindahan. Segala terenggut, sampai Rumi benar-benar merasakan, hanya ada dia dan Allah.

Demi cintanya, Rumi mengembara selama 6 bulan bersama istri, anak dan sahabat ayahnya untuk menimba ilmu dari seluruh penjuru dunia. Bimbingan sheikh Burhan, menyajukkan hatinya dan menghantarkannya kepada kemuliannya sebagai ulama besar yang dicintai dan dikagumi.

Tapi kerinduan dan cintanya belum terjawab, sampai dia berjumpa dengan sahabat sejatinya seorang darwis tua yang compang camping bernama Syams. Mereka adalah dua raga dengan satu jiwa. Jiwa yang sama-sama haus akan Allah. Setiap kehadiran sahabatnya adalah ajakan untuk mendekat kepada Allah. Cinta mereka lekat tak bersyarat. Bait-bait puisi cinta agung mulai mengalir, melalui persahabatan ini.

Apa yang telah engkau lakukan padaku ?
Ku seorang zahid,bebas dari dunia
Kini kakiku terangkat melawan kehendakku
Ku berusaha sembunyikan hatiku
Tapi kau temukan dan kau curi
Dan kini tiada yang tersisa dari diriku
Kecuali wayang yang terus berputar dan berputar terus. (*)

Dua kali Syams meninggalkan Rumi, sebelum kematian, memisahkan mereka secara abadi. Rumi merasakan kehilangan cintanya untuk kedua kalinya. Dan setiap kehampaan yang dirasakan karena cinta yang terenggut, selalu menghantarkannya kepada cinta dengan maqam yang lebih tinggi.

Debu dan pasir membara
Biarlah wajahmu menunduk sampai menyentuh pasir
yang panas dan debu jalanan, karena semua
yang terluka oleh cinta harus
tergambar di wajah mereka, dan goresan luka itu
harus terlihat. Biarlah goresan luka itu dikenali
orang-orang di jalan cinta. (*)

Dan Rumi mendapati kembali dirinya sendiri, hanya bersama Allah. Dan disadarinya bahwa ternyata cintanya pada sahabat terkasih hanyalah sebuah tabir. Tabir yang harus dibukanya sendiri. Dan dia dapati bahwa dirinya ternyata telah terkukung oleh Allah. Dari atas, dari bawah, dari belakang dan dari depan. Setiap sel dalam dirinya hidup berkat keilahian. Sehingga tidak ada ruang lagi yang tersisa untuk cinta yang lain.

Tidak banyak yang tahu bahwa pada akhir masa hidupnya, Rumi telah meninggalkan tarian berputar-putarnya, karena segala kegelisahannya telah terjawab. Allah telah bersemayam di hatinya. Dalam kesendiriannya Rumi menemukan bahwa dia tidak perlu mengejar Allah, Allah akan mengejar makhluknya. Setiap dia melangkah mendekat, Allah berlari menyambutnya. Allah tidak pernah melepas cintanya, walau makhluknya melupakan cinta kepadaNya. Dan setiap kali dia bertanya ”Allah, Engkau dimana??”. Maka Allah akan segera menjawab, ”Aku disini kekasihku”.

Rumi menemukan cinta ilahiyahnya melalui cinta kepada ayah, sahabat ayahnya dan guru spiritualnya.

Begitulah cinta menemukan jalannya. Setiap jalan harus dilalui, dengan riak kerinduan, kepedihan dan suka citanya. Setiap hati harus melalui berbagai cinta, dengan berbagai rupa dan tabiatnya. Setiap jiwa harus menggalami masa pasang dan masa surutnya bersama cinta. Biarkan jiwa menjalani rasanya, panas, dingin, membara, berkecamuk, tenang, menghanyutkan dan .... b u t a. Sampai suatu saat nanti jiwa akan menemukan muaranya dan menyadari ”hanya tinggal aku dan Allah”. Dan Rumi berkata "Bersukalah dalam sukamu kasihku,,, Biarkan aku damai dalam kebesaran Tuhan".

Wallahualam bissawab ..


Salam,, Feb Amni


(*) The Way of Love, Nigel Watts

Tidak ada komentar:

Posting Komentar