Jumat, 02 Juli 2010

MengAwetkan Uang

Beberapa teman yang ingin memulai untuk membuka usaha sendiri, kerap kali bertanya pada saya “ Bagaimana sih memulai wiraswasta? “. Saya kerap kali juga merasa tidak cukup kompeten untuk memberikan jawaban akurat. Tapi terkadang terpaksa juga saya jawab sesuai dengan apa yang saya tahu dan yang sudah saya alami dan saya rasakan dalam menjalankan bisnis sendiri.

Mungkin tidak dapat dipungkiri, bahwa feeling bisnis terkadang terlahir karena kita berada di lingkungan dengan pola pikir yang sama. Atau kita dilahirkan dari keluarga yang juga pedagang atau pembisnis. Tapi bukan berarti, mereka yang dilahirkan atau di besarkan dari keluarga bukan pedagang tidak dapat memulai bisnis sendiri.

Menurut pemikiran saya, jika disederhanakan sebenarnya berniaga atau berwiraswasta adalah mengambil peluang untuk menolong orang lain. Atau dengan kata lain kita menggambil kesempatan untuk membantu orang lain keluar dari kesulitannya.

Jadi untuk melihat peluang bisnis apa yang bisa kita ambil, bisa dimulai dari seberapa banyak orang yang dapat anda tolong. Semakin sering orang lain mengandalkan kita untuk bidang-bidang tertentu, maka hampir dapat dipastikan pada bidang tersebut ada peluang bisnis yang dapat diusahakan. Jika kita sukses menolong orang lain pada salah satu bidang, maka insyaallah akan kita peroleh kesuksesan untuk bisnis pada bidang yang sama.

Saya teringat dengan kisah pertama kali saya dikenalkan dengan dunia wirausaha. Di awal tahun 1992, ketika saya baru memasuki mahligai pernikahan dengan berbagai keterbatasan ekonomi. Gaji suami yang tidak bisa dibilang besar, hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok rumah tangga kami. Pada akhir bulan sekitar tanggal 25, uang belanja tinggal tersisa rp 20.000 saja. Padahal kebutuhan saya, untuk makan waktu itu sekitar rp10.000 per hari. Satu lembar uang dua puluh ribuan itu sempat saya pandangi beberapa lama. Di dalam hati saya berdoa agar Allah menberi jalan keluar untuk masalah saya ini. Sempat juga terlintas dalam benak saya, batapa bahagianya \saya jika saat itu ada orang yang berbaik hati memberi saya uang rp 40.000 saja.

Otak saya berfikir keras untuk mencari jalan keluar dari masalah ini. Hingga akhirnya saya putuskan untuk memutar uang untuk belanja besok, sebagai modal usaha. Sembari belanja saya akhirnya memutuskan untuk membeli semua kelengkapan untuk membuat es mambo. Tapi dengan cita rasa yang agak berbeda. Karena teringat dengan berapa segarnya asinan khas Bogor, maka malam itu saya membuat es mambo rasa asinan. Lengkap dengan buah dengan cita rasa asam, pedas dan manisnya yang menyegarnya. Tidak disangka ternyata, dagangan saya sangat diminati. Sampai akhirnya saya harus membeli beberapa termos lagi untuk menitipkan es mambo asinan bogor tersebut ke beberapa warung. Akhirnya tidak saja kebutuhan belanja bulan itu yang tertutupi, tapi saya juga bisa menabung sedikit-sedikit untuk tambahan modal.

Itulah cerita, pertama kali saya dikenalkan dengan dunia usaha. Sejak saat itu otak saya terbiasa berputar-putar untuk mencari berbagai macam bentuk usaha yang bisa saya lakukan dari dalam rumah. Saya merasa nyaman dengan pola usaha semacam ini, karena saya tidak perlu meninggalkan anak-anak saya.

Dan sejak saat itu pula, kami sangat jatuh cinta dengan wiraswasta. Kami menyebutnya “cara mengawetkan uang”. Uang yang ditanam sebagai modal usaha tidak saja memberi manfaat tapi juga menjadi lebih awet, karena kami hanya mengambil keuntungan yang didapat, bukan modalnya.

Dan pelajaran yang paling berharga yang saya dapat dari berwiraswasta adalah “kita menjadi semakin dekat dan sangat membutuhkan Allah”. Coba anda bayangkan, bagaimana tingkat ketergantungan kita sebagai pengusaha jika dibandingkan dengan mereka yang menerima gaji tetap tiap bulan. Jika digambarkan dengan joke ringan, “tanpa berdoa kepada allah pun, mereka akan tetap menerima gaji tetapnya tiap bulan”. Walaupun gambaran ini tidak dapat digeneralisir, tapi dapat dijadikan contoh kecil.

Kami sebagai pengusaha, hidup dalam ketidakpastian. Walau semua langkah yang kami lakukan penuh dengan perhitungan dan pertimbangan, tetapi tetap sebanding dengan tingkat spekulasinya. Yang paling mungkin kita lakukan di setiap ikhtiar dan langkah yang kami lakukan adalah memohon agar Allah senantiasa melindungi dan merahmati usaha kami.

Ada kata-kata yang sangat berkesan dari teman abah saya seorang pengusaha kayu di balikpapan. Beliau mempunyai kebiasaan berdoa sangat lama dengan menggangkat tangannya tinggi-tinggi setiap sholat berjamaah di masjid. Ketika ditanya mengapa beliau selalu melakukan hal itu, katanya, “Saya seorang pengusaha, maka keberhasilan saya sangat tergantung dengan belas kasih Allah. Saya tidak akan menurunkan tangan saya dan berhenti berdoa sampai seolah-olah saya mendengar Allah berkata YA”.

Di awal-awal menjalankan bisnis ini, saya sempat berfikir untuk kembali ke dunia kerja yang penuh dengan kepastian. Gaji tetap dengan prestasi meningkat yang selalu berbanding lurus dengan peningkatan penghasilan. Hampir semua pengusaha mengalami masa-masa awal sebagai masa-masa tersulit. Pada masa-masa ini, saya mendapati bahwa niat baik tidak selalu berbuah baik. Perbuatan baik kita, tidak selalu mendapatkan balasan serupa dari patner kita. Saya juga belajar banyak dari kecurangan, permainan tipu muslihat, jegal menjegal, sabotase, kebohongan yang selama ini sangat saya hindari dalam pergaulan saya. Karena itulah saya selalu bilang kepada teman yang akan memulai usaha sendiri, “modal bukanlah hal utama untuk memulai usaha. Tapi untuk menjadi pengusaha kita butuh mental sekuat baja, tapi selentur karet”. Dibutuhkan kekuatan yang sangat besar tidak saja untuk mempertahankan usahanya tapi juga untuk bertahan dalam kebenaran di tengah kerasnya persaingan usaha.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar