Rabu, 23 Januari 2013

Menggadaikan Rindu



Tahukah anda bagaimana rasanya setiap kali mengantarkan anak-anak  kembali ke pesantren setelah libur ?  Hmmm…..seperti ada yang tercabut dari hati dan jiwa ini.  Tidak sakit, tapi menyisakan haru yang membekas dan dalam.  Setiap kali menatap mereka berjalan meninggalkan kami di pelataran parkir,  ada setumpuk rasa yang tercampur menjadi satu.  Harapan, haru, rindu, sayang, iba, salut, bangga, pengorbanan dan juga bertumpuk-tumpuk cinta.

Andai  kami hanya mementingkan rasa dan hati saja, maka kami akan memilih untuk tidak memasukkan anak-anak  ke pesantren.  Ketika  Si Bungsu bertanya “Kenapa aku harus masuk pesantren?”.  Saya hanya bisa menjawab,  “Andai Mama seorang Hafiz, andai Mama atau Abi adalah ahli Al Qur’an dan Hadist,  tentu kalian akan kami didik sendiri di rumah”.  Kami memutuskan untuk memasukkan anak-anak ke pesantren minimal di strata SMP, karena kami sadar dengan keterbatasan kami di bidang ilmu agama.  Apa yang kami miliki tidak akan cukup untuk membekali mereka agar tetap tangguh dan kuat pada eranya nanti.  Era dimana godaan dan tantangan dunia ini semakin beragam dan dahsyat.   Apa yang  bisa kami lakukan, berikan dan bekalkan sangat terbatas sekali.  Tidak akan akan memadai untuk membentuk seorang anak menjadi  anak yang tangguh, anak yang akan terpilih menjadi “Pejuang Allah”.  Tentu saja bukan “Pejuang” dengan arti militan.  Yang kami inginkan adalah mengantarkan anak-anak  menjadi generasi yang dengan ilmu  pengetahuan dan apa yang bisa mereka lakukan di kemudian hari akan sangat dicintai Allah.  Bagaimana dicintai Allah jika tidak paham dengan aturan Allah.  Bagaimana dicintai Allah jika tidak secara mendalam belajar tentang surat-surat cinta Allah dalam Al Qur’an Nurkarim.

Dengan memutuskan menitipkan anak-anak di  pesantren, bukan berarti bahwa kami adalah orang tua yang ingin melepas tanggung jawab pengasuhan.  Bukan berarti  bahwa kami adalah orang tua yang tidak ingin direpotkan dengan masalah kenakalan anak-anak.  Sama sekali bukan.  Ketika kami melepas mereka.  Ada serpihan hati  yang juga terlepas.  Ada hati kami yang juga kami titipkan.  Dan selalu ada doa dan air air mata yang mengiring setiap hembusan nafas ketika mereka berjuang menuntut ilmu. 

Doa ketika seorang anak ada di depan mata akan sangat berbeda dengan doa yang kita panjatkan ketika mereka jauh.  Doa  dalam keterpisahan, adalah doa yang khusuk dan penuh permohonan.  Doa yang datang dari lubuk hati yang dirundung kerinduan yang teramat dalam.  Inilah pengorbanan.  Pengorbanan yang kami pilih sendiri, karena kami yakin  janji Allah adalah benar.  Dan dalam setiap doa, saya berkata pada Allah “Ya Allah, penguasa hatiku.  Engkau yang mengetahui kerinduanku.  Maka kuatkan hatiku  untuk selalu istiqomah dan taat kepadaMu.  Jangan jadikan pengorbanan  ini sia-sia.  Jaga kami.  Jaga niat kami.  Jaga anak-anak kami.  Tebuslah pengorbanan kami ini dengan menjadikan anak-anak kami anak yang sholeh, anak yang berbakti, anak yang cerdas dan berguna bagi nusa bangsa dan agamanya”.  Aamiin.  Dan selalu…..doa itu menutup air mata yang mengalir. 

Selalu ada hal yang menghibur hati.  Senang dan kagum menatap betapa bersemangat dan cerianya para santri ketika belajar membaca dan tadarus Al Qur’an.  Dan sinar teduh yang terpancar dari wajah para ustad selalu menenangkan hati.  Dan perkembangan kemampuan Si Bungsu, adalah hadiah istimewa  menakjubkan. 

Anak bungsu kami, ketika masuk pesatren belum bisa membaca Al Qur’an dengan lancar dan dengan tajwid yang benar.  Belum genap sebulan setelah kami tingalkan di pesantren, bulan Ramadhan tahun lalu dia sudah khatam  1,5 kali dalam 20 hari.  Subhanallah.  Hal yang tidak mungkin saya atau Abinya lakukan.  Malah dalam kondisi belum lancar membacapun, anak saya sudah mendapat bimbingan langsung dari para Hafiz (penghafal Al Qur’an) yang ada di pesantren itu. 

Sekarang setelah hampir satu semester, sudah hampir 0,5 juz yang sudah dihafalkannya.  Kegiatan menghafal ini bukan menjadi kegiatan inti, karena dilakukan di luar jam sekolah.  Tapi yang mengagumkan anak-anak santri selalu bersemangat dan antusias dalam menjalankannya.  Malah Si Bungsu berkata, “Aku menyesal deh Ma.  Seandainya dulu  waktu SD kelas 6 sudah disiplin menghafal Al Qur’an setiap malam, pasti aku sekarang sudah hafal satu juz”.  Subhanallah,  ada rasa haru dan bangga mendengarnya.  Apalagi ketika  ingat, begitu sulit mengkondisikannya untuk tetap semangat dan konsentrasi ketika belajar Al Qur’an di rumah. 

Kejutan berikutnya adalah di semester satu  ini, Si Bungsu saya dapat rangking satu.  Sesuatu yang sangat luar biasa karena selama 6 tahun duduk di bangku SD, anak saya hanya satu kali masuk 10 besar, sisanya selalu mendapat rangking diatas 20 dari 30 siswa kelas.  Haru dan bangga yang dibalut dengan sayang dan rindu.  Duuuh…. rasanya tak ingin berlama-lama jauh darinya.  Buah hatiku….  Karena itu saya selalu bilang pada mereka, “Keterpisahan ini, bukan hanya pengorbananmu.  Tapi juga pengorbanan kami sebagai orang tua.  Mari kita hiasi dengan doa dan semangat untuk menjadi lebih baik.  Dan jangan jadikan waktu dalam keterpisahan ini menjadi suatu yang sia-sia”.

Tapi selalu ada momen yang menguatkan hati.  Seperti sore kemarin ketika mengantar Si Bungsu kembali ke pesantrennya.  Sebelum  sampai, kami sempatkan mampir di salah satu mini market terdekat untuk belanja segala keperluannya.  Saya dan si bungsu terpisah lorong.  Tiba-tiba terdengar ada suara pria yang menyapa anak saya, “Assalamualaikum sayang, anak soleh, anak bapak, kok ada disini ?”.  Sapaan ramah yang sungguh penuh dengan rasa sayang.  Walaupun saya tahu, pria yang kemudian saya ketahui sebagai salah satu ustad itu,  terkejut karena anak saya berada di luar pesantren sendirian dan bukan pada hari libur.  Kebetulan anak saya hari minggu kemarin mendapat ijin untuk menghadiri pernikahan tantenya di Cilegon.
“Waalaikum salam ustad.  Habis pulang ada kawinan Tante”, jawab anak saya dengan mencium tangan Si Ustad dengan takjim.  Dan Si Ustad membalas dengan mengelus kepala anak saya sambil membaca syalawat.  Pemandangan yang mengharukan sekaligus menguatkan hati saya. 
“Oooo,, mana mama abinya ?”.
“Itu”, jawab anak saya sambil menunjuk kami yang berjalan mendekat dan memperkenalkan diri. 

Hari ini kami semakin yakin. Insyaallah kami tidak salah memilih orang tua pengganti baginya selama jauh dari kami.  Dan semoga Allah memberkahi pengorbanan ini.  Semoga Allah menjaga niat mulia para Usatd dan dewan guru yang mendidik anak-anak saya dan anak-anak Indonesia pada umumnya.  Semoga amal dan bakti mereka kepada bangsa dan agama ini diterima oleh Allah sebagai amal ibadah yang kelak akan menjadi amal jariah dan penolong di hari akhir. 

“Ya Allah kami mohon cinta-Mu, cinta orang-orang yang mencintai-Mu dan cinta kepada segala yang akan mendekatkan kami kepada cinta-Mu”

10 komentar:

  1. Assalaamualaykum,
    Terimakasih banyak atas sharingnya, sangat menggugah semangat saya untuk memasukkan anak saya ke pesantren. Boleh tau di pesantren mana anak anda sekarang?

    BalasHapus
  2. Sama seperti perasaan saya sekarang. Anak masuk pesantren. Hati antara rela gak rela. Tp demi akhiratnya, saya hrs tega. Nangis diam2 setiap ingat anak.
    In Syaa Allah menjadi anak saleh.

    BalasHapus
  3. Rasa kangen ini hampir tak terbendung lagi...dari mulai masuk pondok sampai sekarang belum boleh bertemu...

    BalasHapus
  4. Alhamdulillah... Saudara-saudaraku seperjuangan, semoga Allah selalu menguatkan niat kita, sdh 3,5 bulan anak berangkat ke pesantren dan belum ada ijin penjengukan, sebuah rindu yang luar biasa, namun harus kuat dan tetap berjuang, demi masa depan anak2, semoga menjadi anak yg sholih anakku. Aamiin

    BalasHapus
  5. Subhanallah...
    Sungguh apa yg dituliskan dalam blog ini telah mewakili saya mengungkapkan semua yg tersimpan dalam hati.

    BalasHapus
  6. Pengalaman pertama memasukkan anak sy ke pesantren,rasa rindu yg tak terbendung...antara rela dan tidak memasukkan putra ku ke pesantren....tp di sisi lain sy harus kuat 😭

    BalasHapus
  7. Terima kasih banyak untuk semua nya .. catatan ini sangat2 mewakili perasaaan saya saat ini Bu ... Yg sy gasanggupnya klo melihat dia lgi di jenguk dr jauh anak ku mengusap air mata nya ..semoga aja anak ku Nabil baru modndook mudah2 an betahbdn bertahan .. trimakasih blognya Bu

    BalasHapus
  8. Masyaa Allah....tulisan umi sangat menyentuh...persis yg skrg saya rasakan, apalagi sikon seperti skrg..mengantar anak untuk masuk pondok, hanya sampai halaman ponpes..tanpa ikut turun dari mobil. Dan pada saat mudif pun hanya dari jarak 10m..gak bisa memeluk. terima kasih tulisannya umi..

    BalasHapus
  9. Si Bungsu skrg gimana khabarnya, um..?

    BalasHapus