Sabtu, 17 Oktober 2009

SINGGASANA j i w a

Pernahkah anda bertanya tentang perasaan hati: benci, cinta dan marah. Apakah anda pernah merencanakan perasaan itu sebelumnya. Ketika ada hal atau perkataan orang lain yang menyinggung anda, kenapa tiba-tiba saja timbul rasa marah didalam hati. Tetapi ketika melihat senyum manis seorang gadis kecil, tiba-tiba ada rasa bahagia yang menyelinap. Kenapa kita seolah-olah tidak dapat mengendalikan perasaan hati kita. Rasa marah berganti senyum, rasa benci berubah menjadi cinta, rasa gundah berubah menjadi syukur dan juga sebaliknya. Semua rasa berganti-ganti setiap saat mengikuti alur jiwa kita.

Diperlukan upaya untuk menimbulkan keinginan berbuat baik, ikhlas dan khusyu. Tetapi terkadang untuk marah, tersinggung, iri, dengki, ujub dan riya,,,, seolah-olah hadir dalam hati kita tanpa daya upaya. Itulah mungkin yang disebut tarikan hati/jiwa. Hati yang terbiasa dalam kebaikan, akan lebih mudah beradaptasi dengan segala rasa yang baik. Sedang hati yang terbiasa dibiarkan lepas dalam kemungkaran, akan lebih menikmati keadaan yang serupa.

Coba kita lihat firman Allah dalam Asy Syam 7-9 : ” Demi jiwa serta penyempurnaan ciptaannya. Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan (jalan) ketaqwaan. Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang mensucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang-orang yang mengotorinya”.

Inilah potensi yang ada pada jiwa manusia, yaitu ilham kejahatan dan ilham ketaqwaan. Sehingga ilham masuk ke dalam hati dengan cepat tanpa melalui proses berfikir. Jiwa yang mendapatkan ilham ketaqwaan akan lebih mudah untuk melakukan kebaikan, tidak perlu bersusah payah dan memaksa dirinya untuk melakukan perbuatan baik itu. Di sisi lain, potensi kejahatan dapat juga muncul di dalam jiwa, begitu saja tanpa melalui proses berfikir. Kedua potensi itu muncul silih berganti, tanpa beban apapun. Intuisi marah atau cinta mengelorakan hati dan mendesak raga untuk melampiaskannya tanpa kita undang kehadirannya. Kadang bukan rasa itu yang kita inginkan, tapi rasa itu menelusup ke dalam relung hati yang dalam dan kita hanya dapat mengikutinya. Potensi jiwa yang jahat dan jiwa yang dirahmati Allah....keduanya bisa saling bersaing menempati ”singgasana jiwa” untuk menjadi penguasa yang akan mengendalikan kehidupan kita. (*)

Al Qur’an menegaskan bahwa fitrah diri manusia adalah kecenderungan menuju kepada kebaikan (keimanan) dan penolakan terhadap tindak kejahatan dan kedurhakaan. Lima puluh tahun sebelum kelahiran kita, jiwa kita telah melakukan ikrarnya untuk taat kepada penciptanya. Karena itu jiwa kita telah lebih dahulu mendapatkan ilham ketaatan yang murni langsung dari Ilahnya. Jiwa kita adalah satu-satunya bagian dari diri kita yang telah menyatakan keimanannya sebelum raga kita mengerti dan mengikutinya. Oleh karena itu kesempurnaan beragamanya tubuh akan dapat dicapai jika kita mau mengikuti kejujuran hati didalam menerima intuisi batinnya sendiri. Karena jiwa memiliki potensi kefitrahan yang seirama dengan firman Allah.

Perbuatan dosa, pelanggaran dan kemungkaran adalah suatu yang aksidental dan tidak ada hubungan dengan sifat alamiah dasar jiwa. Tindakan ini merupakan tindak kekerasan terhadap fitrah atau misorientasi serta kemrosotan insting, yang tidak hanya menyebabkan penyakit kejiwaan namun juga menghalangi kemerdekaan jiwanya sendiri.

Banyak sekali ayat-ayat dalam Al Quran yang memberikan gambaran jiwa manusia yang telah mendapatkan rasa keimanan dan rasa kemungkaran. Tidak selamanya jiwa berada dalam ilham ketaqwaan. Adakalanya ada dorongan besar yang datang dari jiwa untuk melakukan suatu hal yang tidak baik. Gambaran ini dipertegas dalam Al Quran melalui kisah Nabi Yusuf ketika mengalami konflik kejiwaan karena bujuk rayu Zulaiha. Hampir saja Yusuf tidak dapat menahan gejolak yang ada di dalam hatinya. Sehingga ia datang bersimpuh dan memohon perlindungan kepada Tuhannya yang selalu mengawasi bathinnya. ” Ya Allah, tidak akan kubiarkan nafsuku ini untuk berbuat curang. Aku tidak kuasa dengan dorongannya yang begitu dahsyat, kecuali Engkau merahmati nafsuku ini”.

Entah dari mana dan dengan cara apa,,,, tiba-tiba hatinya menjadi tenang, damai dan tercerahkan. Tidak ada lagi gejolak jiwa yang meronta-ronta, sehingga Yusuf pun tidak perlu bersusah payah menahan diri. Jiwanya telah mendapatkan pencerahan dari Tuhannya, sehingga muncul jiwa yang dirahmati. Kerena Yusuf telah menyerahkan dirinya kepada Allah dari perbuatan aniaya.

”Dan aku tidak membebaskan diriku dari kesalahan, karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun dan Maha Penyayang.” ( QS: Yusuf :53)

Itulah jiwa. Jiwa adalah dirinya sendiri. Bukan kita yang mengendalikan jiwa....tapi kita berada dibawah kendali jiwa. Tidak akan ada yang bisa memenangkan pertarungan dengan jiwanya. Jika kita menentang jiwa.....maka jiwa akan menunjukkan pemberontakannya. Dalam pertentangan dengan jiwa, tubuh mengalami penahanan diri yang akan berakibat negatif, yaitu penumpukan zat adrenalin yang dapat meningkatkan kemarahan dan juga depresi. Karena itu tidak ada hal logis yang dapat kita lakukan terhadap jiwa kecuali...... BERSAHABAT DAN JANGAN PERNAH MELEPASKAN JIWA DARI ILLAHNYA.



Salam.....Feb Amni

(NB : hehe...maafan saya, jika bahasa dalam tulisan ini terasa agak berat. Karena dengan topik seberat jiwa, seakan tak ada kata yang dapat disederhanakan.)


* = Berguru pada Allah, Abu Sangkan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar